Vale Indonesia Raih Laba Rp 886,3 Miliar di Kuartal III 2025

foto/istimewa

sekilas.co – PT VALE Indonesia Tbk. mencatat pendapatan sebesar US$ 705 juta atau Rp 11,6 triliun (kurs Rp 16.536 per dolar AS) sepanjang Januari–September 2025. Angka ini sedikit menurun dibandingkan pendapatan US$ 708 juta pada periode yang sama tahun lalu.

Berdasarkan laporan keuangan di Bursa Efek Indonesia (BEI) pada Rabu, 29 Oktober 2025, pendapatan emiten berkode INCO berasal dari penjualan nikel matte sebesar US$ 661,8 juta atau Rp 10,9 triliun, dan bijih nikel sebesar US$ 43,4 juta atau Rp 717,5 miliar.

Baca juga:

Beban pokok pendapatan Vale tercatat sebesar US$ 631,9 juta atau Rp 10,4 triliun, meningkat dibandingkan posisi US$ 628,3 juta pada periode yang sama tahun lalu. Sementara itu, laba Vale hingga kuartal III 2025 tercatat sebesar US$ 52,4 juta atau Rp 886,3 miliar, naik dari laba periode yang sama tahun lalu sebesar US$ 51,1 juta.

Hingga September 2025, Vale mencatat total aset sebesar US$ 3,2 miliar. Ekuitas perseroan tercatat sebesar US$ 2,7 miliar, sedangkan liabilitasnya mencapai US$ 491,1 juta.

Pada September lalu, Vale mengumumkan bahwa Badan Pengelola Investasi (BPI) Danantara tertarik untuk berinvestasi di tiga proyek fasilitas pengolahan nikel milik perseroan.

Proyek pertama dikembangkan bersama Zhejiang Huayou Cobalt, produsen kobalt, nikel, dan litium asal Tiongkok, serta Ford Motor Company, perusahaan otomotif multinasional asal Amerika Serikat. Proyek ini berlokasi di Pomalaa, Kolaka, Sulawesi Tenggara.

Proyek kedua berada di Sambalagi, Morowali, Sulawesi Tengah, dan dibangun bersama GEM Co., Ltd, perusahaan manufaktur bahan baterai asal Tiongkok. Sementara proyek ketiga, yang juga digarap bersama Zhejiang Huayou Cobalt, terletak di Sorowako, Luwu Timur, Sulawesi Selatan.

Director and Chief Project Officer Vale Indonesia, Muhammad Asril, menyatakan bahwa keterlibatan Danantara maupun investor lain dalam proyek-proyek tersebut akan memperkuat basis pendanaan dan mempercepat pembangunan. Ia menekankan komitmen perseroan terhadap penggunaan energi ramah lingkungan pada ketiga proyek smelter untuk mendukung upaya dekarbonisasi.

Asril menjelaskan, sekitar 80 persen kebutuhan energi di smelter nikel Pomalaa dipenuhi melalui heat recovery teknologi untuk menangkap energi panas sisa dari proses produksi agar bisa dimanfaatkan kembali sementara sisanya berasal dari gas alam cair (Liquefied Natural Gas/LNG).

Di Sambalagi, Morowali, proyek yang dibangun berada di kawasan industri hijau internasional (international green industrial park), dengan pasokan energi sepenuhnya berasal dari sumber terbarukan seperti heat recovery, panel surya, dan biomassa. “Di Morowali, 100 persen energinya berbasis terbarukan dan tidak menggunakan LNG,” kata Asril.

Artikel Terkait