Trombosit Tinggi Bisa Jadi Peringatan: Risiko Keguguran hingga Kanker Darah

foto/istimewa

sekilas.co – Keping darah atau trombosit mungkin terlihat sepele karena ukurannya kecil dan tidak memiliki inti. Namun, jumlah trombosit bisa menjadi penentu antara pemulihan dan risiko serius, seperti stroke, serangan jantung, maupun keguguran. Hal ini disampaikan dalam webinar bertajuk “Apa itu Trombosit? Bagaimana jika jumlahnya Berlebihan?” yang diselenggarakan oleh Yayasan Kanker Indonesia (YKI) dengan dukungan Combiphar beberapa waktu lalu.

“Trombosit sering dianggap remeh, padahal jumlahnya yang berlebihan bisa menjadi indikator awal kondisi serius, termasuk kanker darah. Masyarakat perlu memahami bahwa edukasi dini tidak hanya mencegah, tetapi juga memberi harapan untuk deteksi dan penanganan yang lebih baik,” ujar Prof. DR. dr. Aru Wisaksono Sudoyo, Ketua Umum Yayasan Kanker Indonesia, dalam siaran pers yang diterima Cantika, 9 Oktober 2025.

Baca juga:

Dalam penjelasannya, Prof. Aru, pakar hematologi-onkologi, menjelaskan bahwa trombosit berfungsi untuk menghentikan perdarahan. Namun, jumlahnya harus seimbang. Terlalu sedikit dapat menyebabkan perdarahan, sedangkan terlalu banyak bisa memicu sumbatan pada pembuluh darah.

Trombosit merupakan komponen darah yang membantu proses pembekuan. Saat tubuh mengalami luka, trombosit akan berkumpul di area tersebut dan membentuk sumbatan agar perdarahan berhenti. Jumlah trombosit yang terlalu rendah dapat menjadi tanda penyakit serius seperti demam berdarah (DBD), ITP (autoimun), efek kemoterapi, anemia aplastik, keracunan obat, infeksi berat, bahkan kanker.

Yang tak kalah penting, Prof. Aru menekankan bahwa jumlah trombosit yang berlebihan juga berbahaya. Jika kadar trombosit melebihi 450.000 per mL darah, seseorang berisiko mengalami gangguan aliran darah, terutama di arteri. Kondisi ini disebut trombositemia, yang dapat dipicu oleh infeksi, anemia defisiensi besi, penyakit radang, kanker, atau mutasi genetik seperti JAK2, CALR, dan MPL.

Trombosit yang berlebihan bisa muncul tanpa menimbulkan gejala. Namun, kondisi ini juga dapat menyebabkan sakit kepala, gangguan penglihatan, nyeri pada tangan atau kaki, bahkan pembesaran limpa.

“Kelebihan trombosit harus dikendalikan. Jika tidak, risiko stroke, serangan jantung, dan keguguran bisa meningkat secara signifikan,” tegas Prof. Aru.

Data menunjukkan bahwa 38–57 orang per 100.000 populasi dapat mengalami kelebihan trombosit. Menariknya, meski secara global perempuan lebih rentan, di Indonesia justru pria yang lebih banyak mengalami kondisi ini.

Prof. Aru menjelaskan bahwa pengendalian trombosit berlebih bisa dilakukan dengan obat-obatan seperti Hidroksiurea (HU) dan Anagrelide (ANA). HU bekerja dengan menghambat pembentukan sel darah secara umum, sehingga dapat menimbulkan efek samping berupa anemia dan leukopenia. Sementara ANA lebih spesifik menghambat pembentukan trombosit saja.

“Kami ingin masyarakat memahami bahwa trombosit bukan sekadar angka di hasil lab. Ia bisa menjadi sinyal penting dari tubuh dan harus dikenali sejak dini,” tandas Prof. Aru.

Artikel Terkait