Pemberian nilai tersebut didasarkan pada kuesioner yang dikembangkan oleh Southeast Asia Tobacco Control Alliance (SEATCA). Kuesioner ini berisi 20 pertanyaan seputar pengaruh industri tembakau dalam penyusunan kebijakan. Rukki mengumpulkan data melalui berbagai domain publik hingga korespondensi resmi milik pemerintah untuk mengisi kuesioner tersebut.
Salah satu indikator yang membuat skor TII 2025 Indonesia tinggi adalah berbagai interaksi pemerintah dengan pelaku bisnis. Rukki menilai banyak interaksi tersebut sebenarnya tidak diperlukan.
“Berbagai pejabat di Indonesia, mulai dari menteri hingga kepala dinas, terlibat dalam interaksi yang menguntungkan industri tembakau, termasuk kunjungan ke pabrik rokok, peresmian fasilitas produksi, serta dukungan terhadap ekspor dan pengembangan usaha industri tembakau,” tulis laporan TII 2025 dari Rukki.
Menurut Maruf, pemerintah Indonesia saat ini tidak memiliki mekanisme yang mewajibkan pengungkapan terbuka atas interaksi dengan industri tembakau. Selain itu, Rukki juga menyoroti tidak adanya kewajiban pendaftaran bagi entitas, organisasi, atau individu yang mewakili industri tembakau agar aktivitasnya dapat dipantau masyarakat.
Tempo berupaya meminta tanggapan industri tembakau terkait laporan Rukki tersebut. Ketua Umum Perkumpulan Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (Gappri), Henry Najoan, dan Ketua Gabungan Produsen Rokok Putih Indonesia (Gaprindo), Benny Wahyudi, belum merespons pertanyaan yang dikirim Tempo melalui aplikasi perpesanan.