sekilas.co – Penerimaan bea masuk Indonesia mengalami penurunan signifikan pada Oktober 2025, mencatatkan penurunan sebesar 4,9% secara tahunan (yoy). Hingga bulan tersebut, total penerimaan bea masuk hanya mencapai Rp41 triliun, atau sekitar 77% dari target yang dipatok pemerintah dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2025 sebesar Rp52,93 triliun.
Direktur Jenderal Bea Cukai (DJBC) Kementerian Keuangan, Djaka Budhi Utama, menjelaskan beberapa faktor yang mempengaruhi penurunan ini dalam rapat bersama Komisi XI DPR di Jakarta pada Senin (24/11/2025). Penurunan penerimaan bea masuk ini terutama disebabkan oleh kebijakan di sektor perdagangan, khususnya pada komoditas pangan dan insentif kendaraan listrik (electric vehicle/EV).
Kebijakan Perdagangan Pangan Pengaruhi Bea Masuk
Salah satu faktor utama yang menyebabkan penurunan penerimaan bea masuk adalah kebijakan perdagangan yang diterapkan pada sektor pangan, seperti gula, beras, dan jagung. Kebijakan ini berimbas pada kontraksi yang cukup besar pada penerimaan bea masuk komoditas pangan, yang turun 48,4% yoy, dari sebelumnya Rp3,49 triliun menjadi Rp1,80 triliun.
Djaka mengungkapkan, “Ini di antaranya dipengaruhi oleh kebijakan perdagangan di bidang pangan, sehingga bea masuk komoditas pangan mengalami penurunan signifikan,” katanya.
Insentif Kendaraan Listrik Menurunkan Penerimaan Bea Masuk
Selain sektor pangan, kebijakan pemerintah untuk memberikan insentif pada kendaraan berbasis listrik (electric vehicle/EV) juga turut menyumbang pada penurunan penerimaan bea masuk. Kebijakan tersebut menyebabkan penerimaan bea masuk sektor kendaraan bermotor turun 24,5% yoy, dari Rp4,51 triliun menjadi hanya Rp1,81 triliun. Insentif EV ini bertujuan untuk mendorong penggunaan kendaraan ramah lingkungan, namun berdampak pada penurunan bea masuk kendaraan bermotor konvensional.
Pengaruh Free Trade Agreement (FTA)
Di sisi lain, Djaka juga mencatat adanya peningkatan utilisasi Free Trade Agreement (FTA) yang turut berperan dalam penurunan bea masuk. Penggunaan FTA meningkat dari 35,1% pada 2024 menjadi 37,4% pada 2025. Kebijakan ini memungkinkan barang-barang dari negara mitra dagang untuk masuk ke Indonesia dengan bea masuk yang lebih rendah, yang berkontribusi pada penurunan total penerimaan bea masuk.
Potensi Pertumbuhan Jika Tanpa Kebijakan Tertentu
Djaka menambahkan, jika tanpa adanya insentif EV, penurunan penerimaan sektor pangan, dan kenaikan penggunaan FTA, penerimaan bea masuk pada Oktober 2025 sebenarnya masih bisa tumbuh 0,4% yoy. Namun, faktor-faktor tersebut membuat penerimaan bea masuk secara keseluruhan mengalami penurunan.
Penerimaan Bea dan Cukai Secara Keseluruhan
Meskipun penerimaan bea masuk mengalami penurunan, total penerimaan negara di sektor bea dan cukai secara keseluruhan tercatat masih mengalami kenaikan sebesar 7,6% yoy, mencapai Rp249,3 triliun. Kenaikan ini didorong oleh penerimaan dari cukai hasil tembakau (CHT), yang mencapai Rp176,5 triliun, atau naik 5,75% yoy.
Djaka menjelaskan, “Penerimaan CHT ini dipengaruhi oleh normalisasi kebijakan penundaan pelunasan pita cukai, dari 3 bulan di 2024 menjadi 2 bulan di 2025. Jika kebijakan ini dihilangkan, penerimaan CHT akan mengalami kontraksi sebesar 2,3%, seiring dengan penurunan produksi tembakau.”





