sekilas.co – Bencana alam yang terjadi di Sumatera, seperti banjir bandang dan tanah longsor, telah berdampak serius pada sektor pendidikan. Data dari Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen) yang bersumber dari Pusdatin Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat sekitar 208.000 siswa serta 19.000 guru dan tenaga kependidikan mengalami gangguan dalam aktivitas pembelajaran.
Selain itu, lebih dari 326 fasilitas pendidikan dilaporkan rusak akibat bencana, sehingga banyak siswa kehilangan akses untuk menerima pendidikan yang seharusnya mereka dapatkan.
Dampak bencana tidak hanya dirasakan secara fisik, tetapi juga secara emosional. Banyak siswa mengalami ketakutan, kecemasan, dan rasa kehilangan setelah menyaksikan kerusakan lingkungan di sekitarnya. Ketidakstabilan kondisi ini menjadi tantangan besar bagi siswa untuk kembali belajar secara optimal.
Seorang pakar psikologi kebencanaan Universitas Gadjah Mada (UGM), Diana Setiyawati, menekankan bahwa dukungan psikososial memiliki peran penting dalam membantu siswa pulih dan kembali menjalani rutinitas belajar mereka.
Pemulihan psikososial menjadi salah satu langkah utama dalam menjaga kesehatan mental siswa pascabencana. Menurut Diana, agar anak–anak dapat kembali ke sekolah dan belajar dengan nyaman, mereka harus terlebih dahulu merasa aman dan didukung secara psikologis.
Dukungan psikososial diharapkan mampu memberikan ruang bagi siswa untuk mengekspresikan emosi yang mereka rasakan, sekaligus membantu mereka mengatasi trauma akibat bencana. Fokus utama dari program pemulihan ini adalah memastikan kesehatan mental siswa dalam jangka panjang, bukan hanya pemulihan sementara.
Salah satu aspek penting dalam pemulihan psikososial adalah penciptaan ruang aman dan ramah anak (friendly safe space). Diana menjelaskan bahwa kondisi lingkungan belajar yang stabil dan nyaman sangat dibutuhkan untuk mendukung pemulihan kesehatan mental siswa. Ruang ini menyediakan sarana bagi anak–anak untuk belajar dan bermain, sehingga mereka tidak terus terjebak dalam kenangan traumatis akibat bencana.
Peran pemerintah dan relawan menjadi sangat vital dalam menciptakan lingkungan yang mendukung pemulihan tersebut. Mereka bertanggung jawab dalam menyediakan fasilitas yang memenuhi kebutuhan dasar siswa, seperti tempat tinggal yang layak, makanan yang cukup, serta akses terhadap layanan kesehatan. Dukungan dari berbagai pihak sangat dibutuhkan agar siswa dapat kembali beradaptasi dengan rutinitas normal mereka.
Untuk memulihkan kondisi psikologis siswa secara optimal, diperlukan pemantauan yang berkelanjutan. Pemetaan dampak psikologis menjadi langkah awal yang krusial untuk mengidentifikasi wilayah dan kelompok yang paling terdampak.
Pemetaan ini mencakup identifikasi sekolah yang rusak, keterbatasan pasokan makanan, serta daerah dengan tingkat kematian tinggi yang berpotensi menambah beban psikis siswa. Data tersebut penting sebagai dasar dalam menyusun intervensi yang tepat sasaran.
Selanjutnya, program jangka panjang perlu dirancang untuk memperkuat kesehatan mental di lingkungan sekolah, keluarga, dan layanan kesehatan primer. Program ini bertujuan mengantisipasi dampak psikologis yang mungkin muncul dalam jangka menengah maupun panjang.
Dengan pendekatan pemulihan yang komprehensif dan berkelanjutan, diharapkan siswa dapat terhindar dari gangguan psikologis yang serius dan mampu menjalani proses pembelajaran dengan lebih baik.
Dalam masa pascabencana, sinergi semua pihak menjadi kunci utama. Tanpa perhatian yang memadai terhadap kesehatan mental siswa, proses pendidikan tidak akan dapat berjalan secara efektif. Oleh karena itu, setiap upaya perlu dilakukan untuk memastikan siswa dapat kembali bersekolah dengan rasa aman, nyaman, dan penuh dukungan.





