Pangku: Merangkai Keping-Keping Kebahagiaan yang Terserak

foto/istimewa

sekilas.co – Tiga ekor ikan yang kualitasnya tak terlalu segar di atas nampan, selembar surat nikah yang keberadaannya entah hanya demi mendapatkan akta kelahiran sebagai syarat administratif, serta sebuah gerobak mi ayam tanpa atap yang belum sempat diselesaikan.

Kebahagiaan, sesungguhnya, adalah perkara sederhana. Ia dapat hadir singkat. Dan sekali lagi, kebahagiaan memang sederhana tak perlu diseragamkan dengan ukuran orang lain. Meski demikian, sebagaimana hidup, kebahagiaan tetap sesuatu yang mesti diperjuangkan.

Baca juga:

Itulah perjuangan yang ditempuh oleh Sartika (Claresta Taufan Kusumarina), seorang perempuan muda yang tengah hamil besar dan memilih meninggalkan kampung halamannya demi secercah harapan akan hidup yang lebih layak. Namun, bukannya menemukan terang yang dijanjikan, Sartika yang bepergian tanpa membawa apa pun selain tumpukan pakaian dan kandungan yang telah berusia delapan bulan malah berakhir di sebuah gang temaram.

Tak diketahui sejauh apa ia telah meninggalkan kampung halaman. Yang pasti, ia baru menumpang truk tak sampai 40 kilometer sebelum diturunkan paksa, lalu berjalan menyusuri gang-gang gelap di jalur Pantura, Indramayu, untuk mencari sosok Maya (Christine Hakim). Maya dan Jaya (Jose Rizal Manua) menjadi orang-orang yang menyalakan sebuah nyala kecil api harapan yang dijaga sekuat tenaga oleh Sartika.

Dalam keremangan itu, api kecil tersebut tetap menjaga harapan, menuntun Sartika menyambut kelahiran putranya, Bayu (Shakeel Fauzi). Di tengah remang yang sama, muncul pula Hadi (Fedi Nuril), yang kerap datang membawa tumpukan kayu bakar guna membuat api harapan itu terus membesar dan menghangatkan.

Namun pada akhirnya, kobaran harapan itu kembali mengecil, menjelma lagi menjadi tiga ekor ikan yang tak terlalu segar di atas nampan, surat nikah yang entah untuk apa selain mengurus akta kelahiran, dan sebuah gerobak mi ayam tanpa atap yang tak kunjung jadi.

Seperti halnya aktivitas “kopi pangku” transaksi singkat dan lugas di warung-warung remang yang namanya dipinjam menjadi judul film ini begitulah fragmen kebahagiaan Sartika yang sederhana, tercecer dalam rentang waktu yang amat singkat. Meski berserakan, kebahagiaan itu nyata dan justru membawa Sartika menuju bentuk-bentuk kebahagiaan lain yang lahir dari keberaniannya mengambil risiko.

Apa pun itu, seperti ujar Sutan Sjahrir yang tampaknya mengadaptasi secara bebas kutipan musikal dari “Wallenstein Lager” karya Friedrich von Stiller bahwa “Hidup yang tidak dipertaruhkan tak akan pernah dimenangkan.” Dan Sartika telah menaruh taruhannya, dibantu tangan-tangan Maya, Jaya, dan Bayu, demi menjaga api kecil itu tetap menyala.

Perayaan pergumulan perempuan

Sejak adegan pembuka hingga kredit penutup, diiringi lagu lawas “Ibu” karya Iwan Fals, “Pangku” tampil sebagai kisah yang merayakan pergumulan perempuan secara penuh. Pergumulan untuk bertahan hidup. Pergumulan untuk menjaga harapan. Pergumulan dalam mengumpulkan potongan-potongan kecil kebahagiaan.

Reza Rahadian, aktor yang kembali unjuk kemampuan, kini menjalani debutnya sebagai sutradara film panjang sekaligus penulis naskah bersama Felix K. Nesi, sukses menampilkan perayaan pergumulan perempuan dalam “Pangku” berdurasi 100 menit.

Reza dan Felix dengan tegas menampilkan berbagai kemenangan kecil hasil perjuangan perempuan dalam “Pangku”, mulai dari persalinan yang selamat, lauk ikan pemberian wakuncar, akta kelahiran yang diidamkan, hingga gerobak mi ayam semua itu muncul di tengah kesulitan yang menimpa.

Reza menjelaskan bahwa dalam pikirannya, “Pangku” adalah tentang kemampuan bertahan hidup, melibatkan mereka yang memangku, yang dipangku, serta medium pangkuan itu sendiri.

Ia menambahkan bahwa kisah Sartika dalam “Pangku” merupakan suara hati yang ditulis untuk menjadi wahana refleksi bagi dirinya maupun orang banyak, tentang pentingnya menghargai pergumulan. Meski hanya sekadar bertahan hidup, itu tetaplah pencapaian besar.

“Bukan hanya soal cita-cita besar, atau sukses jika memiliki ABCD, tetapi ketika seseorang mampu bertahan hidup, hal itu patut diapresiasi. Itu adalah pencapaian tersendiri,” ujar Reza saat ditemui ANTARA pada akhir September 2025.

Dalam durasi 100 menit, Reza berhasil mewujudkan semua itu dalam “Pangku”, merayakan perjuangan Sartika, Maya, Jaya, dan Bayu dalam bergumul demi bertahan hidup.

Sebab mereka yang tengah sibuk berjuang tidak punya waktu untuk merancang strategi menang dalam pergumulan, sebagaimana Maya berpesan kepada Sartika: “Enggak usah terlalu dipikirin, yang penting dijalani saja.”

Di panggung penghargaan, “Pangku” berhasil meraih sederet apresiasi. Empat di antaranya dari Festival Film Internasional Busan (BIFF) 2025 di Korea Selatan, sementara empat lagi datang dalam bentuk Piala Citra Festival Film Indonesia 2025, hanya dua pekan setelah “Pangku” tayang di bioskop-bioskop tanah air.

Meski berlatar pada tahun 1998 dan sebagian besar era 2000-an, cerita “Pangku” tetap relevan bagi banyak orang hingga saat ini. Bukan hanya karena praktik “kopi pangku” masih dijumpai di sudut-sudut remang sejumlah daerah, tetapi juga karena pergumulan untuk bertahan hidup masih menjadi kenyataan yang nyata.

Reza sangat menerima lagu “Rayuan Perempuan Gila” sebagai salah satu lagu latar “Pangku”, karena karya Nadin Amizah itu erat mengingatkannya pada sosok sang ibu, yang ia sebut “cukup gila untuk menjadi seorang perempuan yang hebat.”

Namun, tampaknya Reza sedikit melewatkan penggunaan lagu lain milik Nadin Amizah, yaitu “Semua Aku Dirayakan”. Terlebih, seluruh pergumulan Sartika dilakukan demi Bayu untuk merayakan Bayu sebagaimana Reza berkali-kali menegaskan ibunya berjuang keras demi dirinya.

Karena itu, wajar bila Reza menambahkan “surat cinta” untuk ibunya melalui “Pangku” dengan menyelipkan lantunan “Semua Aku Dirayakan” sebagai ungkapan Bayu kepada Sartika.

Terlepas dari semua itu, semoga “Pangku” perayaan pergumulan perempuan ini tetap tayang di bioskop hingga 22 Desember 2025. Sebab momen tersebut memberi kita kesempatan mengajak ibu merayakan Hari Ibu dengan menyaksikan kisah pergumulan perempuan melalui “Pangku”.

Artikel Terkait