sekilas.co – Mahkamah menegaskan kerugian keuangan negara atau perekonomian negara merupakan akibat dari perbuatan melawan hukum atau penyalahgunaan kewenangan. Karena itu, Mahkamah menilai tidak diperlukan penambahan unsur dengan sengaja sebagaimana dimohonkan para pemohon. Penafsiran yang terlalu sempit justru berpotensi mempersempit daya jangkau pemberantasan korupsi.
Adapun dalam Perkara Nomor 161/PUU-XXII/2024 yang diajukan oleh Hotasi Nababan, mantan Direktur PT Merpati Nusantara Airlines, Mahkamah menyatakan pertimbangan hukumnya merujuk dan sejalan dengan Putusan Nomor 142/PUU-XXII/2024. Dalil pemohon yang meminta penambahan unsur maksud atau tujuan dalam Pasal 2 dan Pasal 3 UU Tipikor dinilai tidak memiliki dasar konstitusional.
Dalam pengambilan putusan perkara ini, Hakim Konstitusi Arsul Sani mempunyai pendapat berbeda (dissenting opinion). Menurut Arsul, Mahkamah seharusnya mengabulkan permohonan Pemohon untuk sebagian sepanjang berkaitan dengan norma Pasal 2 ayat 1 UU 31/1999, namun tidak dengan rumusan petitum sebagaimana yang dimohonkan Pemohon.
Arsul berpendapat, seyogianya Mahkamah menyatakan frasa “secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang merugikan keuangan negara” dalam Pasal 2 ayat (1) UU 31/199 tidak bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang dimaknai dengan “secara melawan hukum melakukan perbuatan dengan maksud memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang merugikan keuangan negara.





