Menhan: Area Demonstrasi di Halaman DPR Bisa Perkuat Demokrasi

foto/ilustrasi

Sekilas.co – Menteri Hak Asasi Manusia, Natalius Pigai, menyebut gagasan penyediaan ruang demonstrasi di halaman gedung DPR RI sebagai langkah strategis untuk memperkuat praktik demokrasi substantif.

Dalam keterangan yang diterima di Jakarta, Senin, Pigai menjelaskan bahwa demokrasi substantif yang dimaksud adalah ketika aspirasi masyarakat dapat tersalurkan, ketertiban publik tetap terjaga, dan simbol kedaulatan hadir di pusat parlemen.

Baca juga:

“Menyediakan ruang demonstrasi di halaman DPR merupakan pilihan strategis yang patut dipertimbangkan secara serius karena akan mempertemukan masyarakat langsung dengan lembaga yang mewakili mereka,” ujarnya.

Menham menegaskan bahwa masyarakat memiliki hak untuk menyampaikan pendapat secara damai. Negara, menurutnya, bukan hanya wajib menghormati hak tersebut, tetapi juga memastikan keberadaan ruang yang memfasilitasi, salah satunya melalui penyediaan ruang demonstrasi ini.

Pigai menambahkan, usulan tersebut sejalan dengan sikap Presiden Prabowo Subianto.

Pada 31 Agustus 2025, saat menanggapi gelombang unjuk rasa, Presiden Prabowo menekankan bahwa kebebasan berpendapat dijamin oleh Kovenan Internasional PBB tentang Hak Sipil dan Politik serta Undang Undang HAM.

Menurut Pigai, pernyataan Presiden tersebut menegaskan bahwa pemerintah konsisten menjalankan komitmen HAM, baik internasional maupun nasional.

Selain itu, hak untuk menyampaikan pendapat juga telah dijamin dalam Pasal 28E Undang Undang Dasar 1945.

Namun, ia menilai praktik demokrasi di Indonesia sering kali menimbulkan gesekan, terutama karena lokasi unjuk rasa biasanya berada di jalan utama sehingga berpotensi menimbulkan kemacetan maupun benturan.

Karena itu, Pigai meyakini penyediaan ruang demonstrasi di halaman gedung DPR RI bisa menjadi solusi. Dengan adanya ruang khusus ini, hak masyarakat tetap terjamin, sementara ketertiban umum juga dapat dijaga.

Pigai memaparkan setidaknya delapan alasan pentingnya ruang demonstrasi, yakni: menjadi simbol autentik demokrasi, mendekatkan massa dengan target aspirasi, mengurangi beban lalu lintas, menjaga keamanan dan ketertiban, mendorong budaya dialog langsung, menghapus stigma negatif aksi demonstrasi, efisiensi logistik, serta menjadi preseden bagi daerah lain.

Ia menambahkan, praktik penyediaan ruang demonstrasi juga diterapkan di sejumlah negara. Misalnya, Jerman menyediakan alun alun publik di Berlin untuk aksi besar dengan pemberitahuan resmi, Inggris mengatur demonstrasi di Parliament Square melalui izin khusus, Singapura menyiapkan Speakers’ Corner di Hong Lim Park, sementara Amerika Serikat memiliki free speech zones dalam acara politik besar.

Sedangkan di Korea Selatan, aksi memang dilarang di sekitar istana, parlemen, dan pengadilan, tetapi difasilitasi di ruang publik ikonik seperti Gwanghwamun Square.

“Gagasan ruang demonstrasi ini sebenarnya sudah pernah diusulkan DPR RI dalam Rencana Strategis 2015–2019, dengan konsep pembangunan ‘alun alun demokrasi’,” ujarnya.

Rencana pembangunan alun alun demokrasi sebelumnya diusulkan berada di sisi kiri kompleks DPR, tepatnya di area Taman Rusa, lapangan futsal, dan parkir. Kawasan itu didesain mampu menampung sekitar 10.000 orang dengan fasilitas panggung orasi permanen, pengeras suara, jalur evakuasi, serta akses aman.

“Peresmian simbolis sempat dilakukan pada 21 Mei 2015, tetapi proyek tersebut tidak berlanjut,” ungkap Pigai.

Selain itu, lanjutnya, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta pada 2016 pernah membangun Taman Aspirasi di Plaza Barat Laut Monas, dengan luas sekitar 1.000 meter persegi. Fasilitasnya berupa taman terbuka, mural, dan ruang ekspresi publik.

“Namun ruang ini lebih bersifat simbolis dan tidak difungsikan sebagai lokasi demonstrasi resmi yang diakui hukum,” tambahnya.

Pigai menekankan bahwa pengalaman internasional memberi pelajaran penting. Di Singapura, Speakers’ Corner kerap dikritik karena justru dianggap membatasi ruang demonstrasi. Sebaliknya, Jerman dan Korea Selatan menunjukkan bahwa ruang aspirasi di jantung kota dapat memperkuat demokrasi tanpa menutup kemungkinan aksi di lokasi lain.

Karena itu, menurut Pigai, usulan ruang demokrasi di halaman DPR harus dipandang sebagai tambahan ruang resmi yang representatif, aman, dan simbolis, bukan sebagai upaya membatasi demonstrasi hanya di sana.

Dengan cara tersebut, katanya, Indonesia bisa menghindari jebakan regulasi yang mengekang kebebasan sekaligus memperluas fasilitasi demokrasi dalam wujud yang lebih substantif.

Menteri HAM itu menegaskan bahwa usulan halaman DPR sebagai ruang demonstrasi adalah kesempatan kedua untuk merealisasikan gagasan lama yang sempat tertunda.

“Dulu, DPR sudah menuliskannya dalam renstra, Pemprov DKI juga pernah membangunnya di Monas. Kini, dengan momentum politik yang tepat, kita bisa memastikan ruang demokrasi benar-benar terwujud, bukan sekadar wacana,” jelas Natalius Pigai.

Usulan penyediaan pusat aspirasi publik di halaman gedung DPR RI, Senayan, Jakarta, pertama kali ia sampaikan saat meninjau Kantor Wilayah Kementerian HAM di Denpasar, Bali, Jumat (12/9).

Artikel Terkait