Mengurai Beban Utang Kereta Cepat yang Tidak Mau Ditanggung Purbaya

foto/Whoosh

sekilas.co – Rencana Badan Pengelola Investasi (Danantara) untuk merestrukturisasi utang proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung (KCJB) dengan mengalihkan aset infrastruktur PT Kereta Cepat Indonesia China (KCIC) kepada pemerintah mendapat sorotan serius.

Kebijakan ini dinilai berpotensi menyebabkan pemerintah harus menanggung beban utang KCIC melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).

Baca juga:

Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa secara tegas menyatakan penolakannya terhadap rencana tersebut, meski belum menerima secara resmi usulan skema dari Danantara. Menurut Purbaya, lembaga pengelola kekayaan negara tersebut seharusnya mampu menyelesaikan persoalan utang proyek KCJB secara mandiri.

terutama karena Danantara telah mendapatkan penyertaan modal lewat dividen yang belum disetorkan ke pemerintah pada tahun sebelumnya. Ia juga menegaskan bahwa seluruh beban utang yang muncul dari proyek badan usaha milik negara (BUMN) tidak boleh langsung dibebankan ke APBN.

“Sejauh ini saya belum mendapat konfirmasi terkait masalah ini, tetapi KCIC berada di bawah Danantara, bukan? Mereka sudah memiliki manajemen dan dividen sendiri,” ujar Purbaya dalam Media Briefing APBN 2026 di Novotel, Bogor, Jawa Barat, Jumat (10/10/2025). Ia menambahkan, pertanyaan utama saat ini adalah berapa besar utang proyek kereta cepat yang berpotensi dibebankan kepada negara jika skema pengalihan infrastruktur tersebut benar-benar disetujui.

Menurut catatan KCIC, total nilai proyek KCJB mencapai 7,27 miliar dolar AS setelah mengalami pembengkakan biaya (cost overrun). Dari jumlah tersebut, sekitar 75 persen atau sekitar 4,45 miliar dolar AS setara Rp90,2 triliun dengan kurs Rp16.560 per dolar AS berasal dari pinjaman, sedangkan 25 persen sisanya merupakan ekuitas atau modal yang disetor oleh para pemegang saham KCIC.

Para pemegang saham tersebut terdiri dari PT Pilar Sinergi Indonesia, sebuah konsorsium BUMN yang melibatkan PT Kereta Api Indonesia (KAI) sebagai pemegang saham mayoritas, Wijaya Karya, PT Jasa Marga (Persero) Tbk, dan PT Perkebunan Nusantara, serta 40 persen saham dimiliki oleh pihak China.

Kondisi ini membuat PT KAI, sebagai leading sponsor proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung (Whoosh), harus menanggung beban utang yang semakin besar. Direktur Utama PT KAI, Bobby Rasyidin, mengungkapkan dalam rapat bersama Komisi VI DPR RI pada 20 Agustus lalu bahwa proyek ini telah berdampak signifikan terhadap penurunan laba perusahaan.

Artikel Terkait