sekilas.co – Di era digital yang serba cepat seperti sekarang, istilah hedonisme atau gaya hidup hedonis semakin sering terdengar terutama di kalangan anak muda perkotaan yang hidup di tengah budaya media sosial, kemudahan akses teknologi, dan tren konsumsi global. Hedonisme pada dasarnya berasal dari kata Yunani kuno hedone, yang berarti kenikmatan atau kesenangan. Dalam konteks modern, lifestyle hedonis menggambarkan gaya hidup yang berorientasi pada kesenangan pribadi, kemewahan, dan pencarian kebahagiaan melalui hal-hal materi atau pengalaman mewah.
Namun, gaya hidup ini bukan sekadar tentang berfoya-foya. Di balik daya tariknya yang glamor, ada dinamika sosial, ekonomi, dan psikologis yang menarik untuk dipahami. Hedonisme modern muncul sebagai cerminan perubahan nilai dalam masyarakat, di mana kepuasan diri dan pengalaman instan sering dianggap sebagai ukuran kesuksesan dan kebahagiaan.
Lifestyle hedonis adalah pola hidup yang berfokus pada pencarian kesenangan dan kepuasan pribadi.
Orang yang menjalani gaya hidup ini biasanya lebih mengutamakan hal-hal yang memberi rasa nikmat atau kebahagiaan sesaat, seperti berbelanja barang mewah, berlibur ke tempat eksklusif, makan di restoran mahal, atau mengikuti tren terbaru di media sosial.
Dalam psikologi, gaya hidup hedonis sering dikaitkan dengan konsep hedonic treadmill , yaitu kondisi di mana seseorang terus mengejar kebahagiaan dari hal-hal baru, namun cepat merasa bosan setelah mendapatkannya sehingga terus mencari sumber kesenangan berikutnya.
Contohnya, seseorang yang merasa senang membeli ponsel terbaru, tapi dalam waktu singkat merasa “kurang” dan ingin membeli model lain lagi.
Tidak bisa dipungkiri, media sosial punya peran besar dalam memperkuat budaya hedonisme.
Platform seperti Instagram, TikTok, dan YouTube kini menjadi etalase gaya hidup glamor mulai dari haul barang branded, konten luxury travel, hingga aesthetic lifestyle vlog.
Tanpa disadari, tren ini menanamkan persepsi bahwa kebahagiaan identik dengan penampilan mewah, eksklusivitas, dan konsumsi tanpa batas.
Fenomena ini bahkan melahirkan istilah seperti flexing culture budaya pamer kekayaan yang memperlihatkan status sosial melalui barang atau pengalaman mahal.
Padahal, tidak semua yang tampak di dunia maya mencerminkan kehidupan nyata. Banyak individu yang akhirnya terjebak dalam tekanan sosial, merasa harus meniru gaya hidup orang lain agar terlihat “berhasil” atau “keren.”
Inilah salah satu bentuk dampak psikologis dari lifestyle hedonis di era digital.
Gaya hidup hedonis bisa dikenali dari beberapa kebiasaan yang mencerminkan pola pikir konsumtif dan orientasi pada kenikmatan sesaat, seperti:
-
Konsumerisme tinggi sering membeli barang yang sebenarnya tidak dibutuhkan, hanya demi kepuasan atau status sosial.
-
Fokus pada penampilan menilai kesuksesan dari tampilan luar, seperti pakaian bermerek, kendaraan mewah, atau liburan mahal.
-
Pencarian kebahagiaan instan lebih suka hal yang cepat dan praktis daripada proses panjang yang bermakna.
-
Kurang perencanaan keuangan sering menghabiskan uang tanpa memperhatikan kebutuhan jangka panjang.
-
Ketergantungan pada pengakuan sosial mencari validasi dari orang lain, terutama melalui media sosial.
Meskipun tidak semua orang dengan gaya hidup mewah tergolong hedonis, tanda-tanda di atas menunjukkan fokus berlebihan pada kepuasan eksternal daripada keseimbangan batin.
Lifestyle hedonis memiliki dua sisi bisa memberikan kebahagiaan sementara, tapi juga menimbulkan masalah jangka panjang.
Dari sisi psikologis, terlalu sering mencari kebahagiaan instan dapat membuat seseorang sulit merasa puas. Rasa senang yang diperoleh dari konsumsi cepat menguap, digantikan oleh kebutuhan untuk mencari sumber kesenangan baru. Akibatnya, muncul perasaan hampa, stres, bahkan depresi karena standar kebahagiaan yang terus meningkat.
Dari sisi sosial, budaya hedonis bisa memperlebar kesenjangan ekonomi dan sosial. Orang yang tidak mampu mengikuti gaya hidup mewah mungkin merasa rendah diri atau iri terhadap mereka yang lebih mampu.
Selain itu, perilaku konsumtif berlebihan juga berdampak pada lingkungan meningkatnya limbah mode, penggunaan sumber daya yang berlebihan, dan polusi dari industri konsumsi massal.
Menariknya, tidak semua aspek hedonisme harus dipandang negatif. Dalam filsafat modern, muncul konsep hedonisme positif” yaitu menikmati kesenangan hidup tanpa kehilangan kendali diri.
Artinya, seseorang masih bisa menikmati hal-hal yang menyenangkan, seperti kuliner enak, traveling, atau belanja, asal dilakukan dengan kesadaran dan keseimbangan.
Kunci dari hedonisme sehat adalah mindful consumption menikmati sesuatu bukan karena ingin pamer atau memenuhi ekspektasi sosial, melainkan sebagai bentuk apresiasi terhadap diri sendiri.
Misalnya, memberi hadiah kecil setelah bekerja keras, atau traveling untuk mencari ketenangan batin, bukan sekadar foto di tempat populer.
Dengan cara ini, gaya hidup hedonis bisa menjadi bagian dari self-care, bukan jebakan konsumsi berlebihan.
Agar tidak terjebak dalam gaya hidup hedonis yang merugikan, ada beberapa langkah yang bisa dilakukan:
-
Sadari tujuan hidup kenali nilai dan prioritasmu, agar tidak mudah terpengaruh oleh gaya hidup orang lain.
-
Kelola keuangan dengan bijak bedakan antara kebutuhan dan keinginan; sisihkan dana untuk tabungan atau investasi.
-
Batasi paparan media sosial jangan bandingkan hidupmu dengan highlight kehidupan orang lain di internet.
-
Nikmati hal sederhana kebahagiaan tidak selalu harus mahal; berjalan di taman, membaca buku, atau waktu bersama keluarga juga berharga.
-
Bangun rasa syukur dan mindfulness dengan mensyukuri apa yang sudah dimiliki, kamu akan lebih tenang dan tidak mudah merasa kurang.
Dengan langkah ini, kamu tetap bisa menikmati hidup tanpa kehilangan kendali menikmati kesenangan tanpa harus diperbudak oleh keinginan.
Gaya hidup hedonis memang menggoda, apalagi di era modern yang penuh kemudahan dan tren konsumsi cepat.
Namun, kebahagiaan sejati tidak bisa diukur dari seberapa banyak barang yang kita miliki atau seberapa sering kita berlibur, melainkan dari seberapa dalam kita menghargai pengalaman hidup itu sendiri.
Menjalani kehidupan dengan kesadaran dan keseimbangan menikmati hasil kerja keras tanpa berlebihan, bersenang-senang tanpa kehilangan arah adalah kunci agar kita tidak terjebak dalam pusaran hedonisme yang melelahkan.
Karena pada akhirnya, kebahagiaan bukanlah soal seberapa banyak yang kita konsumsi, tetapi seberapa penuh kita menikmati setiap momen dengan hati yang tenang dan bersyukur.





