Membangun Ideologi Kesehatan yang Adil dan Partisipatif

foto/istimewa

Sekilas.co – INDONESIA Health Development Center (IHDC) merilis laporan publik hasil kajian berjudul “Reinterpretasi Ideologi Kesehatan Indonesia: IHDC Model 2025”. Kajian ini merupakan gagasan strategis yang dibangun melalui kemitraan, bertujuan agar sistem kesehatan Indonesia dapat mencapai tujuan utamanya, yaitu keadilan sosial, kedaulatan rakyat, dan partisipasi publik.

Inisiator sekaligus Ketua Dewan Pembina IHDC, yang juga pernah menjabat Menteri Kesehatan 2014–2019, Nila F. Moeloek, menyatakan bahwa kesehatan adalah soal ideologi, bukan sekadar urusan teknis atau statistik. Ia mengajak masyarakat untuk bersinergi membangun sistem kesehatan dengan fondasi nilai keadilan.

Baca juga:

“Falsafah Pancasila harus hadir nyata dalam ideologi yang mewarnai seluruh kebijakan kesehatan kita, termasuk dalam menghadapi tantangan global,” kata Nila Moeloek dalam keterangan pers yang diterima Tempo pada pertengahan Agustus 2025.

Dalam kajian tersebut, Ketua Tim Peneliti Ideologi Kesehatan IHDC, Ray Wagiu Basrowi, memaparkan bahwa kajian ini telah menghasilkan enam dimensi utama ideologi kesehatan Indonesia. Keenam dimensi tersebut merupakan sintesis dari diskusi pakar, studi literatur, dan diskusi lintas sektor. Berikut enam poin yang perlu diangkat:

  1. Kedaulatan – mengutamakan kendali nasional atas sumber daya kesehatan.

  2. Komunitas dan Solidaritas – memperkuat gotong royong kesehatan berbasis komunitas.

  3. Kesetaraan – menangani ketimpangan layanan dan perlakuan terhadap kelompok rentan, perempuan, disabilitas, dan masyarakat adat.

  4. Ekonomi dan Jaminan Pembiayaan – memperjuangkan sistem pembiayaan yang adil dan tidak diskriminatif terhadap kelompok kurang mampu.

  5. Pendidikan dan Promosi Kesehatan – membangun gerakan literasi kesehatan mulai dari pendidikan dasar hingga komunitas.

  6. Tata Kelola – mendorong birokrasi kesehatan yang transparan, partisipatif, dan responsif, berbasis teknologi serta kepercayaan publik.

Ray menambahkan bahwa setiap dimensi perlu disertai indikator keberhasilan yang terukur. Pengukuran dapat dilakukan melalui kemandirian, rasio tenaga kesehatan di wilayah tertinggal, tingkat kepesertaan Jaminan Kesehatan Nasional, dan indeks literasi kesehatan.

“Penting pula adanya sistem audit sosial digital layanan publik, dilengkapi dengan model pengukuran berbasis komunitas,” ujar Ray Wagiu Basrowi.

Ray mengatakan bahwa keenam dimensi tersebut perlu disatukan dengan faktor partisipasi rakyat. Partisipasi bukan sekadar pelibatan formal dalam musyawarah perencanaan pembangunan, tetapi keterlibatan bermakna rakyat dalam merumuskan, melaksanakan, dan mengevaluasi sistem kesehatan mereka sendiri.

“Tanpa partisipasi yang nyata dan kolektif, ideologi hanyalah slogan. Kita ingin rakyat merasa menjadi pemilik sistem kesehatan, bukan hanya pengguna yang pasrah,” ujar Nila Moeloek, yang juga pernah menjadi Utusan Khusus Presiden Republik Indonesia untuk Millennium Development Goals (MDG).

Laporan ini juga memperkuat argumen ilmiah dengan merujuk pada kajian filsafat sosial dan politik. Para ahli menyebutkan bahwa nilai-nilai Pancasila merupakan fondasi paling tepat bagi bangsa Indonesia dalam membangun sistem kesehatan berbasis keadilan substantif.

Guru besar antropologi Semiarto Aji Purwanto dan pakar hukum serta kebijakan kesehatan Djarot Dimas menyoroti pemikiran global yang menyatakan bahwa keadilan adalah keberpihakan kepada mereka yang paling rentan, bukan sekadar distribusi angka yang merata.

Sementara itu, guru besar dan ekonom kesehatan Ascobat Gani serta jurnalis humaniora dan kesehatan Adhitya Ramadhan menegaskan pentingnya prinsip partisipatori, terutama secara kualitas, agar komunitas dapat membangun kesehatan secara ideologis dan berkelanjutan.

IHDC menekankan bahwa kebijakan kesehatan yang baik bukanlah yang mengejar angka cakupan tertinggi, tetapi yang paling berpihak kepada mereka yang paling terpinggirkan. IHDC mendorong agar hasil kajian ini diintegrasikan ke dalam dokumen-dokumen strategis pembangunan, termasuk pembangunan kesehatan, bahkan menjadi basis advokasi lintas sektor dan gerakan civil society.

Artikel Terkait