Sekilas.co – Kementerian Koordinator Bidang Hukum, HAM, Imigrasi, dan Pemasyarakatan (Kemenko Kumham Imipas) menegaskan bahwa tata kelola royalti harus berpijak pada prinsip kepastian hukum, transparansi, dan digitalisasi.
Dalam Diskusi Grup Terarah Koordinasi dan Sinkronisasi Regulasi dan Kebijakan dalam Tata Kelola Royalti Nasional di Jakarta, Kamis (18/9), Staf Khusus Menko Kumham Imipas Bidang Isu Strategis, Karjono, menyebut royalti sebagai hak ekonomi yang wajib dihormati.
“Dengan tata kelola yang profesional, Indonesia dapat menjadi pionir di tingkat internasional,” ujar Karjono, dikutip dari keterangan tertulis di Jakarta, Senin.
Karjono juga memperkenalkan Protokol Jakarta sebagai inisiatif Indonesia untuk menetapkan standar global tata kelola royalti musik di bawah kerangka World Intellectual Property Organization (WIPO). Protokol ini akan menciptakan ekosistem hak cipta berbasis transparansi, dengan tujuan menyeimbangkan hak pencipta dan platform global yang mewakili konsumen.
Dalam kesempatan yang sama, Satriyo Yudi Wahono (Piyu) dari Asosiasi Komposer Seluruh Indonesia (AKSI) menyoroti bahwa permasalahan royalti di Indonesia selama ini bukan hanya soal tarif, tetapi juga rasa keadilan bagi pencipta. Banyak musisi dan komposer yang karyanya digunakan secara komersial, namun imbalan yang diterima kecil atau bahkan tidak ada sama sekali.
“Yang lebih penting dari sekadar tarif adalah memastikan royalti benar-benar sampai kepada pencipta secara efektif, transparan, dan profesional,” ujar Piyu.
Ia juga menekankan perlunya ruang hukum untuk skema direct license, yaitu perjanjian langsung antara pencipta dan pengguna karya, seperti penyanyi atau promotor. Skema ini dapat berjalan berdampingan dengan mekanisme Lembaga Manajemen Kolektif (LMK) untuk memberi pilihan yang lebih adil bagi pencipta.
Piyu menambahkan, pemerintah perlu mengatur sistem hybrid yang amanah, akuntabel, dan terpercaya agar distribusi royalti tidak terjadi distorsi.
Sementara itu, Ikke Nurjanah, mewakili pelaku seni, menekankan pentingnya penguatan LMK Nasional (LMKN) dengan mekanisme satu pintu dalam penarikan dan distribusi royalti. Model ini memudahkan pengguna karya musik sekaligus memberi kepastian hukum bagi pencipta. Ia juga menekankan perlunya membangun bank data nasional dan sistem digital-hybrid agar distribusi royalti lebih cepat dan akuntabel di seluruh Indonesia.
Diskusi dilanjutkan oleh Irfan Aulia Irsal, gitaris grup musik Samsons sekaligus CEO Massive Entertainment, yang menyoroti tata kelola royalti digital. Ia memaparkan bahwa industri musik kini didominasi oleh empat model bisnis utama: Streaming Services, User Generated Content (UGC)/Unified Communication and Collaboration (UUC) Platform, Over The Top (OTT) Platform, dan Short Form Platform.
Irfan menekankan tantangan besar, seperti banyaknya rilis lagu harian, rendahnya literasi hak cipta, dan kompleksitas data. Situasi ini memicu krisis hak cipta dan kekacauan distribusi royalti. Oleh karena itu, diperlukan sistem back-office yang kuat, didukung oleh Trifecta: sistem andal, data bersih, dan sumber daya manusia kompeten.
Diskusi kemudian berkembang dengan berbagai masukan peserta, mulai dari tarif konser yang belum efektif hingga kebutuhan koordinasi lintas kementerian, pemerintah daerah, dan aparat penegak hukum. Para peserta sepakat bahwa pembaruan sistem diperlukan untuk menciptakan tata kelola royalti yang kredibel dan modern.
Kegiatan ditutup dengan semangat membangun ekosistem musik nasional yang lebih adil, modern, dan berkelanjutan, sehingga karya cipta mendapat penghargaan yang layak dan royalti tersalurkan secara tepat sasaran.





