sekilas.co – KOMISI Pemberantasan Korupsi (KPK) berkukuh menemukan tindak pidana dalam proses akuisisi PT Jembatan Nusantara (JN) oleh ASDP Indonesia Ferry. Proses penyidikan yang dilakukan oleh tim telah menemukan perbuatan melawan hukum eks Dirut ASDP Ira Puspadewi dan dua mantan petinggi lainnya.
Juru Bicara KPK Budi Prasetyo mengatakan ada sedikitnya 12 kesalahan Ira Puspadewi yang menjadi perbuatan melawan hukum. Pertama, mengubah ketentuan dasar PT ASDP untuk pemenuhan syarat kerja sama usaha (KSU) dengan PT JN, yang kemudian diubah kembali setelah proses berjalan. “Mengubah Rencana Kerja Anggaran Perusahaan (RKAP) dari rencana pembangunan kapal menjadi akuisisi perusahaan pelayaran,” kata Budi melalui keterangan resminya, Kamis, 27 November 2025.
Selanjutnya, kata Budi, Ira tidak menyusun feasibility study yang memadai untuk proses akuisisi, serta mengabaikan penilaian risiko, meskipun aksi akuisisi berisiko tinggi. “Mematok nilai akuisisi terlebih dengan melakukan pengkondisian bersama pemilik/penerima manfaat (beneficial owner) PT JN dan meminta konsultan menyesuaikan hasil valuasi,” kata Budi.
Ira juga memberikan data tidak akurat kepada konsultan, termasuk status kapal yang sebenarnya tidak beroperasi; tidak mempertimbangkan utang PT JN, kondisi kapal, biaya perbaikan, dan utang pajak. Ia tetap memaksakan akuisisi meskipun secara finansial PT ASDP tidak mampu, hingga harus berutang kepada bank. “Mengabaikan saran BPKP terkait penilaian kapal yang terlalu tinggi,” tambah Budi.
Selain itu, Ira dinilai membeli kapal yang tidak layak jalan dan tidak sesuai standar Organisasi Maritim Internasional (IMO), beberapa kapal tidak diasuransikan, dan izin yang belum lengkap. “Tidak mempertimbangkan kondisi bisnis penyeberangan yang sudah jenuh, karena lebih banyak supply daripada demand,” kata Budi. Ia juga memengaruhi konsultan untuk memberikan keterangan yang mendukung skenario tertentu.
Dalam perkara ini, majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat menjatuhi hukuman kepada Ira Puspadewi dengan pidana 4,6 tahun penjara dan denda Rp 500 juta. Sementara Yusuf Hadi dan Harry Muhammad Adhi Caksono, masing-masing 4 tahun penjara dan denda Rp 250 juta. Putusan itu diketok palu pada Kamis, 20 November 2025.
Namun, Presiden Prabowo Subianto menggunakan hak istimewanya memberikan rehabilitasi kepada tiga terpidana korupsi ASDP, yakni eks Direktur Utama PT ASDP Indonesia Ferry, Ira Puspadewi, mantan Direktur Komersial dan Pelayanan Muhammad Yusuf Hadi, dan mantan Direktur Perencanaan dan Pengembangan Harry Muhammad Adhi Caksono. Rehabilitasi itu merupakan usulan dari Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad mengatakan, lembaganya menerima berbagai pengaduan dan aspirasi terkait permasalahan di ASDP yang terjadi pada Juli 2024. Dasco bercerita, setelah menerima aspirasi dari kelompok masyarakat, pimpinan DPR kemudian meminta kepada Komisi III yang membidangi hukum untuk mengkaji perkara mulai masuk penyelidikan sejak Juli 2024. “Hasil kajian hukum itu kemudian kami sampaikan kepada pemerintah,” kata Dasco di Istana Kepresidenan, Selasa, 25 November 2025.
Dalam pleidoinya, Ira membantah melakukan korupsi. Ia menyatakan yang dibeli perusahaannya pada saat itu bukan kapal, melainkan saham perusahaan yang sedang beroperasi. Ira menganggap KPK tidak pernah menemukan bukti rasuah yang menjeratnya bersama dengan dua rekan kerjanya.
Ira mengklaim proses akuisisi yang dilakukan perusahaan saat itu telah melalui prosedur yang sesuai dengan aturan yang berlaku. Hal ini, kata Ira, melalui audit investigasi yang dilakukan oleh BPK yang termuat pada 14 Maret 2023.
“Dengan kesimpulan bahwa kegiatan investasi akuisisi ini telah dilaksanakan sesuai dengan perundang-undangan dan ketentuan yang berlaku dalam semua hal yang material dan ini dalam persidangan juga dikonfirmasi pada 21 Oktober oleh saksi ahli dari BPK,” ujar dia, 6 November.
Mantan petinggi ASDP ini pun turut mempertanyakan perhitungan kerugian negara dalam perkara ini. Menurut Ira, laporan kerugian keuangan negara bukan dilakukan oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) atau Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP).
“Namun (laporan kerugian keuangan negara) produk dari KPK sendiri dan baru selesai akhir Mei 2025 atau tiga bulan setelah penahanan kami. Lalu apa dasar menahan saya selama ini?,” ucapnya.





