Ketidaknormalan Harga Gula Pasir

foto/istimewa

sekilas.co – Pasar gula pasir kini menunjukkan gejala yang tidak wajar. Dalam teori ekonomi, ketika pasokan melimpah, harga seharusnya turun. Begitu pula sebaliknya, saat ketersediaan barang menipis, harga biasanya naik. Namun kondisi saat ini justru berkebalikan: stok menumpuk di gudang-gudang badan usaha milik negara, tetapi harga gula malah terus merangkak. Bahkan, gula milik ID Food maupun PT Sinergi Gula Nusantara (Sugar Co) gagal terjual dalam lelang.

Menurut data Pusat Informasi Harga Pangan Strategis Nasional per 30 September 2025, rata-rata harga gula pasir lokal tercatat Rp 17.550 per kilogram. Angka ini naik dibanding pekan sebelumnya yang sebesar Rp 17,54 ribu per kilogram. Kenaikan harga ini terjadi ketika stok di gudang BUMN mencapai 427 ribu ton, jumlah yang berada di atas rata-rata. Selain ID Food dan Sugar Co, sebagian stok tersebut juga dimiliki oleh para pedagang.

Baca juga:

Ironisnya, meski ID Food melepas gula itu lewat lelang dengan harga Rp 14.500 per kilogram jauh lebih rendah dari harga pasar stok tetap tidak bergerak keluar gudang. Akibatnya, tumpukan karung gula pasir semakin menimbun dan berisiko rusak atau menurun kualitasnya.

Padahal, gula itu dibeli ID Food dari para petani dengan menggunakan dana pinjaman bank serta dukungan dari Badan Pengelola Investasi Daya Anagata Nusantara (Danantara). Perusahaan yang sebelumnya bernama PT Rajawali Nusantara Indonesia (Persero) tersebut kini terancam menanggung kerugian besar, lantaran stok gulanya menurun mutu sementara kewajiban pinjaman terus membelit.

Ada beberapa faktor yang memicu anomali harga gula pasir kali ini. Pertama, rendahnya penilaian terhadap gula yang diproduksi pabrik milik negara. Bukan rahasia lagi, banyak pabrik gula BUMN masih mengandalkan teknologi usang. Dengan mesin-mesin tua, kualitas gula yang dihasilkan pun kalah bersaing dibandingkan gula impor maupun produk pabrik modern berteknologi tinggi.

Faktor kedua adalah peredaran gula rafinasi di pasar ritel. Seharusnya, jenis gula ini hanya diperuntukkan bagi konsumen industri. Masalah klasik ini terus berulang dan merugikan petani tebu dalam negeri, dengan dampak yang tidak bisa dianggap sepele.

Pada Agustus lalu, misalnya, bocornya gula rafinasi ke pasar ritel membuat 65 ton gula dari 17 pabrik di Jawa Timur menumpuk di gudang karena tidak terserap pasar. Wajar saja, siapa yang tidak tergoda membeli gula seharga Rp 12-13 ribu per kilogram, sementara gula kristal putih kini mencapai Rp 17 ribu per kilogram?

Dalam buku Ekonomi Politik Industri Gula Rafinasi: Kontestasi Pemerintah, Importir, Pabrik Gula, dan Petani, pakar pertanian Khudori menjelaskan bahwa kebutuhan industri makanan dan minuman hanya sekitar 1.000 ton gula rafinasi per tahun. Namun, para importir justru bisa mengantongi izin impor hingga 150 ribu ton per tahun.

Alhasil, impor yang benar-benar masuk untuk kebutuhan industri hanya sekitar 1.000 ton, sedangkan sisanya berupa gula mentah dan gula putih yang kemudian dipasarkan sebagai gula konsumsi. Inilah yang akhirnya merembes ke pasar ritel dan melanggar Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 1 Tahun 2019 tentang Perdagangan Gula Rafinasi.

Jika sebelumnya petani tebu yang menanggung kerugian, kini giliran perusahaan pelat merah yang terkena imbasnya. Bagaimana nasib mereka selanjutnya? Jawabannya bisa Anda simak dalam tulisan “Mengapa Stok Gula BUMN Tak Laku” dan “Risiko Gula Turun Mutu dan Merugikan BUMN”.

Artikel Terkait