sekilas.co – Kementerian Kesehatan (Kemenkes) menyatakan bahwa pengawasan dan pembinaan dalam penerapan standar kesehatan serta kebersihan pada satuan pelayanan pemenuhan gizi (SPPG) masih belum merata. Kepala Biro Komunikasi dan Informasi Publik Kemenkes, Aji Muhawarman, menduga ketidakmerataan tersebut pada SPPG atau dapur MBG menjadi salah satu faktor maraknya kasus keracunan dari menu Makan Bergizi Gratis (MBG).
“Sebetulnya ada banyak faktor penyebab. Bisa jadi sangat beragam,” ujar Aji saat dihubungi pada Kamis, 25 September 2025.
Ia memaparkan bahwa pada akhir tahun lalu, Kementerian Kesehatan sebenarnya telah menerbitkan pedoman pengawasan proyek MBG. Pedoman ini dimaksudkan sebagai acuan bagi seluruh perangkat kesehatan di daerah dalam mengawasi sekaligus membina SPPG yang berperan sebagai dapur penyelenggara program MBG. Mekanisme pengawasan tersebut dapat dijalankan mulai dari perangkat kesehatan di tingkat provinsi hingga ke tingkat desa.
Menurut Aji, pedoman tersebut sudah mengatur standar kesehatan dan kebersihan bagi dapur umum agar dapat menyelenggarakan program Makan Bergizi Gratis. “Kemenkes menetapkan ketentuan inspeksi kelayakan lingkungan, pengawasan kapasitas, hingga sesekali melakukan pengambilan atau pemeriksaan sampel lingkungan,” jelas Aji.
Namun, Aji menekankan bahwa banyak SPPG hingga kini belum memiliki Sertifikat Laik Higiene Sanitasi (SLHS) dan belum terhubung dengan dinas kesehatan daerah. Berdasarkan data Kantor Staf Presiden, dari sekitar 8.500 dapur MBG, hanya 34 yang sudah memiliki sertifikat kelayakan. “Padahal ini hal penting dan harus segera diselesaikan,” tegasnya.
Program Makan Bergizi Gratis (MBG) menuai sorotan setelah memicu lebih dari 5.000 kasus keracunan di puluhan kota dan kabupaten yang tersebar di 16 provinsi. Sejumlah pihak mendesak agar program unggulan pemerintahan Prabowo Subianto–Gibran Rakabuming Raka itu segera dievaluasi.
Aji mengaku prihatin atas banyaknya kasus keracunan yang terjadi belakangan ini. Menurutnya, Kementerian Kesehatan akan mendorong Badan Gizi Nasional (BGN) bersama lembaga terkait untuk melakukan evaluasi menyeluruh terhadap seluruh proses pelaksanaan program MBG. “Evaluasi harus dilakukan secara komprehensif, mencari tahu penyebab, mengidentifikasi titik kritis, serta aspek yang perlu diperbaiki,” ujarnya.
Kasus keracunan dalam program MBG semakin menjadi perhatian publik. Beberapa organisasi masyarakat sipil bahkan mendesak pemerintah untuk menghentikan sementara program ini setelah jumlah korban meningkat tajam dalam dua bulan terakhir. Data Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) menunjukkan, pada Juli tercatat 342 siswa keracunan, jumlahnya naik menjadi 2.226 siswa pada Agustus, dan bertambah lagi menjadi 3.145 siswa pada September.
Kepala Kantor Staf Presiden (KSP), Muhammad Qodari, menyebutkan terdapat tiga lembaga, yakni BGN, Kementerian Kesehatan, dan BPOM, yang memiliki catatan berbeda mengenai jumlah korban. Namun, ia menegaskan perbedaan tersebut tidak signifikan. “Secara statistik, angkanya sinkron, sama-sama berada di kisaran 5 ribu,” kata Qodari di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Senin, 22 September 2025.





