IPB Kembangkan Sistem yang Bisa Prediksi Karhutla 2 Minggu ke Depan

foto/istimewa

sekilas.co – Guru Besar Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (FMIPA) IPB University, Muhammad Taufik, memperkenalkan sistem deteksi dini kebakaran hutan dan lahan (karhutla) berbasis Peat Fire Vulnerability Index (PFVI). Skema mitigasi kebakaran yang menggunakan pendekatan ekohidrologi ini diklaim mampu memprediksi kerentanan hingga 14 hari ke depan.

Sistem PFVI telah diterapkan di kawasan prioritas restorasi gambut sejak 2021 melalui kerja sama dengan Badan Restorasi Gambut dan Mangrove (BRGM). “Kami bekerja sama dengan BRG sejak 2021 dan BRGM hingga 2024 di enam provinsi utama: Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Kalimantan Selatan, Kalimantan Tengah, dan Kalimantan Barat,” ujarnya melalui keterangan tertulis, Selasa, 28 Oktober 2025.

Baca juga:

Menurut Taufik, luas lahan gambut di Indonesia mencapai 14 juta hektare dengan cadangan karbon sebesar 50 gigaton, hampir setengah dari total cadangan karbon gambut tropis di dunia. Transformasi besar-besaran lahan gambut sejak era 1990-an menjadi area pertanian dan perkebunan telah menggerus fungsi hidrologi kawasan tersebut.

“Penurunan tinggi muka air tanah (TMAT) di bawah 60 sentimeter secara signifikan meningkatkan potensi kebakaran,” tuturnya.

Dalam risetnya, Taufik kemudian mengembangkan model PFVI dengan tiga variabel utama: curah hujan, suhu udara, dan TMAT. Integrasi model ini dengan Weather Research and Forecasting (WRF) memungkinkan prediksi karhutla hingga dua pekan ke depan.

Tim peneliti dari IPB University juga mengembangkan RAMIN (R-based Assessment for Modeling Indonesian Nature), sistem daring yang menggabungkan pemodelan hidrologi, emisi karbon, dan valuasi kredit karbon. “RAMIN memanfaatkan data lokal secara real-time, transparan, dan berbasis riset ilmiah,” ujar Taufik.

Ia mengakui bahwa masih ada kendala, meski potensi karhutla bisa diprediksi hingga dua pekan sebelumnya. Menurut Taufik, dana daerah biasanya hanya bisa digunakan setelah bencana terjadi, bukan untuk antisipasi.

Meski demikian, Taufik menegaskan bahwa pengelolaan gambut berbasis ekohidrologi tidak hanya menekan risiko kebakaran, tetapi juga mendukung agenda ekonomi hijau nasional. Pendekatan ini dinilai mampu mengintegrasikan sains dengan kebijakan publik.

“Jika kondisi gambut terjaga, kita juga turut menekan emisi gas rumah kaca dan mendukung target Nationally Determined Contribution (NDC) pemerintah,” kata dia.

Artikel Terkait