sekilas.co – WAKIL Direktur Garuda Indonesia Thomas Oentoro mengatakan anak usaha perseroan, Citilink Indonesia, mendapat 63 persen atau setara dengan Rp 14,9 triliun dari total modal Rp 23,6 triliun dari Badan Pengelola Investasi Daya Anagata Nusantara atau Danantara. Sementara itu, Garuda Indonesia memperoleh Rp 37 persen atau Rp 8,7 triliun.
Thomas mengatakan 47 persen dari dana segar ke Citilink untuk modal kerja. “Pembiayaan modal kerja dan operasional Citilink meliputi pembayaran biaya perawatan dan perbaikan pesawat,” katanya dalam keterbukaan informasi di Bursa Efek Indonesia, Jumat, 7 November 2025.
Sementara itu, sebesar 16 persen atau Rp 3,7 triliun dana ke Citilink bakal dialokasikan untuk membayar utang pembelian bahan bakar pesawat ke PT Pertamina (Persero).
Thomas mengatakan alokasi dana ke Citilink ini lebih besar dari Garuda karena beberapa alasan. Dia mengatakan alokasi ini memperhatikan bertambahnya grounded aircraft Citilink yang menyebabkan penurunan tingkat serviceability. Di sisi lain, Citilink menghadapi penurunan operasional.
“Penurunan kondisi operasional Citilink mempengaruhi kemampuan Citilink untuk membayar kewajibannya, termasuk kepada Pertamina,” katanya.
Danantara memangkas suntikan modal melalui private placement ke Garuda Indonesia dari Rp 29,8 triliun menjadi US$ 1,4 miliar atau sekitar Rp 23,6 triliun. Emiten berkode GIAA itu mendapat penyesuaian ini dari Danantara pada 29 Oktober 2025 tentang penambahan penyertaan modal.
Thomas mengatakan penyesuaian ini otomatis mengubah rencana perseroan. “Terdapat pula penyesuaian pada rencana penggunaan dana yang kini tidak lagi mencakup ekspansi armada,” katanya.
Sementara itu, sisa dana sebesar 37 persen atau Rp 8,7 triliun di Garuda Indonesia, Thomas mengatakan, untuk modal kerja Garuda Indonesia yang meliputi pembayaran biaya perawatan dan perbaikan pesawat.
Dalam pengumuman sebelumnya, modal dari Danantara ke Garuda Indonesia ini bakal ditetapkan dalam rapat umum pemegang saham luar biasa pada Rabu, 12 November 2025.
Penambahan modal ini dilaksanakan karena Garuda Indonesia diperkirakan belum membukukan ekuitas positif hingga November 2025 sehingga menghambat akses pendanaan dan memunculkan potensi delisting dari Bursa Efek Indonesia. Di sisi lain, Garuda Indonesia tertekan karena perawatan dan restorasi pesawat yang menurunkan kinerja perseroan ataupun Citilink.
Garuda Indonesia membukukan rugi US$ 180,7 juta atau sekitar Rp 3 triliun (kurs 16.654 per dolar Amerika Serikat) hingga kuartal III 2025. Kerugian ini menukik dari periode yang sama tahun lalu, yang sebesar US$ 129,6 juta atau sekitar Rp 2,1 triliun.
Berdasarkan laporan keuangannya di Bursa Efek Indonesia, Jumat, 31 Oktober 2025, Garuda Indonesia mencatatkan pendapatan usaha sebesar US$ 2,3 miliar atau Rp 38,3 triliun. Pendapatan ini turun dari Rp 41,6 triliun pada periode yang sama tahun lalu.
Pendapatan Garuda Indonesia berasal dari penerbangan berjadwal US$ 1,8 miliar atau Rp 29,9 triliun, penerbangan tidak berjadwal (charter) US$ 299,5 juta dan lainnya US$ 245,8 juta.
Adapun beban usaha Garuda Indonesia tercatat sebesar US$ 2,2 miliar atau turun dari US$ 2,3 miliar pada periode yang sama tahun lalu. Hingga 30 September 2025, Garuda Indonesia memiliki total aset US$ 6,7 miliar. Sedangkan ekuitas Garuda Indonesia tercatat minus US$ 1,5 miliar dan liabilitasnya US$ 8,2 miliar.





