Film Horor, Antara Ketakutan dan Makna yang Tersembunyi

foto/istimewa

Sekilas.co – Di tengah persaingan ketat industri perfilman Indonesia, film horor tetap mampu mempertahankan posisinya sebagai salah satu genre yang paling konsisten diproduksi sekaligus disukai penonton.

Lebih dari sekadar tontonan pemicu adrenalin, film horor sebenarnya menyimpan potensi edukatif, baik dari sisi psikologi, budaya, maupun nilai sosial.

Baca juga:

Data dari Sistem Administrasi Sensor Berbasis Elektronik (e-Sias) Lembaga Sensor Film (LSF) Indonesia mencatat, sepanjang 2024 ada 87 judul film horor yang didaftarkan untuk proses sensor. Jumlah ini setara dengan 30,5% dari total film nasional, hanya kalah dari genre drama yang mendominasi 49,5%.

Popularitasnya juga terbukti lewat capaian penonton. KKN di Desa Penari (2022) menempati posisi kedua film terlaris Indonesia sepanjang masa dengan lebih dari 10 juta penonton, sementara Pengabdi Setan 2: Communion (2022) berada di posisi kelima dengan lebih dari 6 juta penonton. Fakta ini memperlihatkan bahwa horor bukan sekadar tren, melainkan genre lintas generasi yang memiliki daya tarik kuat.


Horor sebagai Eksplorasi Emosi

Menonton horor tak hanya soal mencari ketegangan. Menurut teori Transfer Eksitasi dari Dolf Zillmann, rasa takut yang dipicu film horor dapat meningkatkan gairah fisiologis, lalu berubah menjadi rasa lega dan kepuasan. Dengan kata lain, film horor memberi ruang aman untuk mengeksplorasi emosi ekstrem, melatih pengendalian diri, sekaligus memahami respons tubuh terhadap stres.

Dalam konteks psikologi, genre ini bisa membantu penonton mengenali rasa takut, kecemasan, hingga trauma, sambil memberi kesempatan untuk refleksi dan pemulihan emosional melalui alur cerita yang terstruktur.


Refleksi Budaya dalam Horor

Film horor Indonesia kerap menjadikan cerita rakyat, mitos, dan legenda sebagai sumber inspirasi. Sosok-sosok hantu lokal seperti kuntilanak, pocong, hingga tuyul, bukan sekadar pemanis cerita, melainkan sarana edukasi budaya sekaligus pengingat sosial.

Dr. Mochamad Irfan Hidayatullah, dosen Proses Kreatif Produksi Film Universitas Padjadjaran, menjelaskan bahwa fiksi selalu mencari inspirasi dari realitas yang dekat dengan masyarakat, termasuk cerita-cerita lisan yang diwariskan turun-temurun.

“Cerita-cerita itu menjadi media pengingat. Kalau sekarang kita pakai aturan, undang-undang, atau berita untuk mendisiplinkan masyarakat, dulu cukup lewat pamali, mitos, legenda, atau dongeng,” jelas Irfan.

Seiring waktu, media penyampaiannya ikut berkembang. Dari cerita lisan, lalu radio, hingga kini ke bentuk audio visual yang diangkat para sineas menjadi film horor. Inilah yang membuat horor berperan sebagai sarana literasi budaya, memperkenalkan generasi muda pada warisan lokal dengan cara yang lebih relevan dan menarik.

Contohnya, KKN di Desa Penari (2022) yang mengangkat mitos larangan melewati area tertentu di hutan sakral. Cerita ini bukan hanya soal teror gaib, melainkan juga pesan moral tentang pentingnya menghormati batas-batas budaya dan spiritual masyarakat lokal.


Horor sebagai Alat Komunikasi Sosial

Manoj Punjabi, CEO MD Pictures, dalam wawancara dengan Voice of America menyebut bahwa keberhasilan film horor lokal terletak pada kemampuannya membangun kepercayaan penonton. Hal ini menegaskan bahwa horor tidak hanya sekadar hiburan, tetapi juga sarana komunikasi sosial yang efektif.

Artikel Terkait