Sekilas.co – Memasuki satu tahun pemerintahan Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka, harga beras nasional masih berada di level tinggi meskipun produksi beras melimpah.
Pengamat pertanian dari Center of Reform on Economics (Core) Indonesia, Eliza Mardian, menjelaskan bahwa tingginya harga beras di tingkat konsumen tidak terlepas dari mahalnya ongkos produksi di sektor hulu.
“Kalau dari sisi harga beras, ini [harga beras] di konsumen naik karena ada penyesuaian dari sisi bahan bakunya, yaitu penyesuaian harga gabah,” kata Eliza kepada Bisnis, Senin (20/10/2025).
Eliza menuturkan, kebijakan pemerintah yang menaikkan harga gabah kering panen (GKP) menjadi Rp6.500 per kilogram memang menguntungkan petani dan berdampak pada membaiknya nilai tukar petani pangan.
“Biasanya selama dua dekade petani pangan hidupnya selalu marginal. Sekarang ada keberpihakan ke petani agar meningkatkan minat menanam, tetapi konsekuensinya harga di konsumen jadi naik,” ujarnya.
Menurut Eliza, tantangan besar ke depan adalah menyeimbangkan kepentingan produsen dan konsumen, terutama setelah adanya kebijakan kenaikan harga GKP.
“Kalau mau membuat petani sejahtera dan masyarakat tidak dibebani dengan kenaikan harga pangan yang tinggi, maka ini perlu reformasi menyeluruh,” katanya.
Selama ini, lanjut Eliza, kebijakan pangan cenderung berfokus menjaga harga murah di tingkat konsumen, sehingga petani tidak mendapatkan harga jual yang layak. Akibatnya, pendapatan petani tetap rendah.
“Di era Prabowo ini ada kebijakan yang berpihak kepada petani, tetapi memang konsekuensinya harga di konsumen mahal. Sebetulnya konsumen kelas atas tidak masalah dengan kenaikan harga, yang perlu dijaga daya belinya itu masyarakat menengah bawah,” jelasnya.
Selain pengaruh harga gabah, struktur ongkos produksi beras yang tidak efisien juga menjadi penyebab mahalnya harga beras di pasar. Eliza menyebut biaya produksi beras di Indonesia 2,5 kali lebih mahal dibandingkan Vietnam, dengan hampir separuhnya untuk membayar tenaga kerja.
“Cost structure beras kita itu 2,5 kali lebih mahal dibandingkan Vietnam, hampir separuhnya habis untuk tenaga kerja, disusul sewa lahan. Pupuk hanya berkontribusi 12–15% terhadap total biaya,” paparnya.
Menurut Eliza, tingginya ongkos tenaga kerja disebabkan oleh minimnya mekanisasi pertanian serta kelangkaan tenaga kerja di sektor pertanian.
“Kenapa 50% lebih untuk tenaga kerja itu karena kita kurang mekanisasi dari hulu-hilir, ditambah lagi sulit cari buruh pertanian sehingga upahnya relatif mahal. Mesin-mesin pertanian banyak tersedia untuk lahan besar, sementara mayoritas petani kita skala kecil,” tuturnya.
Selain itu, sewa lahan pertanian juga terus naik tanpa kendali, karena gagalnya reforma agraria.
“Sewa lahan juga sama karena gagalnya reforma agraria serta tidak ada aturan sewa lahan pertanian sehingga harganya terus naik tanpa memperhitungkan inflasi,” tambahnya.
Benahi Struktur Biaya
Eliza menekankan, reformasi pertanian berbasis riset dan efisiensi dari hulu hingga hilir menjadi kunci menurunkan harga pangan.
“Kalau mau harga pangan kita relatif murah, maka perlu didorong R&D-nya untuk menemukan varietas yang produktivitas tinggi dan tahan hama serta perubahan iklim,” katanya.
Ia juga menyoroti pentingnya penyesuaian alat mesin pertanian dengan kondisi lahan, efisiensi pasca panen, serta perbaikan irigasi agar tidak bergantung pada pompa air. Selain itu, rantai distribusi juga perlu dipangkas agar petani bisa menjual beras langsung.
“Bangun rice milling unit di setiap kelompok tani atau koperasi supaya keuntungan maksimal di petani, harga di konsumen bisa terkendali. Ketergantungan terhadap middleman membuat pasar rentan spekulasi,” terangnya.
Meski pemerintah sudah menyerap 12,5% produksi beras lewat program Stabilisasi Pasokan dan Harga Pangan (SPHP), Eliza menilai distribusinya belum optimal karena tidak sesuai dengan pola belanja masyarakat berpenghasilan rendah.
“Seharusnya kemasan kecil 1 kilograman, eceran agar menyesuaikan dengan pola belanja masyarakat menengah bawah,” ujarnya.
Ia menambahkan, keterlambatan distribusi dan penumpukan beras SPHP di gudang justru merugikan pemerintah dan masyarakat.
“Ini merugikan kedua pihak, pemerintah rugi tidak menyalurkan SPHP cepat-cepat, rakyat juga susah akses SPHP-nya karena kendala distribusi dan kemasan yang kurang ekonomis bagi mereka,” jelasnya.
Terkait swasembada pangan, Eliza menilai Indonesia memang sudah mencapai 90% pemenuhan dari dalam negeri, tetapi belum tentu berkelanjutan dan efisien.
“Kita masih swasembada karena 90% masih dipenuhi dari dalam negeri. Tapi apakah swasembada pangan ini akan berkelanjutan dan signifikan meningkatkan kesejahteraan petani dan konsumen juga mendapatkan harga terbaik?” pungkasnya.





