sekilas.co – Dokter spesialis gizi klinik lulusan Universitas Indonesia, dr. Pande Putu Agus Mahendra, M.Gizi, SpGK, menyampaikan bahwa protein memiliki peran penting dalam asupan gizi seimbang, terutama untuk mendukung tumbuh kembang anak.
“Protein merupakan salah satu komponen nutrisi makro yang menjadi bagian dari gizi seimbang. Kehadiran protein sangat penting, khususnya bagi anak-anak yang sedang berada pada fase tumbuh dan kembang,” ujar dr. Pande Putu Agus Mahendra, M.Gizi, SpGK AIFO-K CISSN FACSM, saat dihubungi ANTARA di Jakarta, Jumat.
Ia menjelaskan bahwa protein, yang tersusun dari rangkaian asam amino, berperan dalam pembentukan dan regenerasi sel tubuh, terutama otot rangka. Namun, asupan protein yang rendah pada anak dapat meningkatkan risiko stunting.
“Banyak kasus malnutrisi pada anak terjadi akibat rendahnya asupan protein, yang kemudian memicu stunting,” kata dia.
dr. Pande menambahkan bahwa konsumsi protein juga perlu dibatasi, karena jika berlebihan bisa menimbulkan gangguan pada organ tubuh lainnya, terutama ginjal.
“Protein tidak akan dapat berfungsi dengan optimal tanpa adanya komponen nutrisi makro lainnya,” tutur dokter yang berpraktik di Siloam Hospitals Mampang.
Menurut dr. Pande, asupan protein pada anak akan disesuaikan dengan umur dan berat badan, mengikuti rekomendasi Badan Kesehatan Dunia (WHO) serta konsensus internasional.
Sementara itu, untuk usia dewasa, asupan protein rata-rata berada di kisaran 0,8–1,2 g/kgBB. Pada individu dengan aktivitas fisik berat atau atlet, asupan ini dapat ditingkatkan hingga 1,6–1,8 g/kgBB.
“Riset yang dilakukan oleh Prof. Stuart dari McMaster University dan ACSM menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan manfaat antara konsumsi protein 1,6–1,8 g/kgBB dengan asupan >1,8 g/kgBB. Selain itu, asupan protein >1,8 g/kgBB berpotensi menimbulkan gangguan fungsi organ,” jelasnya.
dr. Pande menambahkan bahwa sumber protein dapat diperoleh dari pangan nabati maupun hewani. Pangan nabati meliputi berbagai jenis kacang dan biji-bijian, sedangkan pangan hewani berasal dari ikan, telur, unggas, serta daging putih dan merah.
Pada kondisi tertentu, pangan hewani, khususnya makanan laut atau seafood, dapat memicu alergi. Hal ini disebabkan oleh protein tertentu, seperti parvalbumin pada ikan bersirip tinggi dan tropomyosin pada jenis crustaceans.
“Banyak kasus alergi berasal dari makanan laut bercangkang (crustacea) dan mollusca, serta beberapa jenis ikan laut seperti tuna, tongkol, dan salmon. Bahkan ikan air tawar atau payau seperti tilapia dan bandeng juga dapat memicu alergi,” kata dia.
Beberapa jenis asam amino, menurut dr. Pande, seperti arginin yang banyak terdapat pada kacang-kacangan, dapat menjadi faktor pemicu alergi, terutama dari kacang-kacangan dan produk kedelai.
Ia menjelaskan bahwa protein hewani bisa sepenuhnya digantikan oleh protein nabati, terutama bagi mereka yang menerapkan pola makan vegetarian. Namun, bukan berarti protein nabati sepenuhnya bebas risiko alergi.
“Produk nabati juga dapat memicu reaksi serius, bahkan dalam beberapa kasus dapat menyebabkan kematian akibat afiksia,” ujar dia.
Lebih lanjut, dr. Pande menyarankan bahwa untuk penggunaan protein pada produk massal, seperti program Makan Bergizi Gratis (MBG), sebaiknya memilih sumber protein yang relatif aman, seperti unggas, telur, daging putih atau merah, serta protein nabati dari tempe dan tahu.
Yang terpenting, menurut dia, adalah pengawasan dan kontrol yang ketat dalam proses pengolahan, penyimpanan, dan distribusi, serta evaluasi harian kepada anak-anak, karena alergi bersifat individual.





