sekilas.co – BADAN Gizi Nasional (BGN) pernah menolak dapur sekolah untuk dijadikan unit Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) atau dapur makan bergizi gratis (MBG), meskipun dapur tersebut sudah memiliki sertifikat laik higiene sanitasi (LSHS) dan berpengalaman.
Dapur sekolah itu milik Yayasan Al Muttaqin di Kota Tasikmalaya, Jawa Barat. “Kami sudah mendaftar dua kali sejak Maret 2025, tapi tetap ditolak oleh BGN,” ujar juru bicara Yayasan Al Muttaqin, Yayan Sopyan, kepada Tempo, pada Selasa, 14 Oktober 2025.
Yayan menjelaskan bahwa BGN menolak dapur sekolahnya menjadi mitra MBG karena persyaratan dan administrasi yang dimiliki tidak sesuai dengan ketentuan Badan Gizi. Penolakan tersebut disampaikan kepada Yayasan melalui surat elektronik. Dalam surat itu disebutkan bahwa rekening koran yang diajukan tidak memenuhi ketentuan, dan selain itu, luas dapur serta peralatan masak yang digunakan dianggap tidak modern.
“Kami tetap berharap program MBG ini bisa dikelola oleh sekolah,” ujar Yayan.
Menurut Yayan, Yayasan Al Muttaqin memiliki jenjang pendidikan mulai dari sekolah dasar (SD), sekolah menengah pertama (SMP), hingga sekolah menengah atas (SMA), dengan total 2.358 siswa. Setiap jenjang sekolah sudah memiliki dapur tersendiri seluas 6 x 6 meter, yang telah beroperasi selama 25 tahun.
Pengelola dapur sekolah, kata Yayan, adalah ahli gizi yang pernah bekerja di rumah sakit. Dua orang ahli gizi ini bertanggung jawab mengawasi dan menyiapkan menu makan yang akan dihidangkan kepada siswa.
“Setiap hari saya belanja ke pasar agar makanan yang dihidangkan tetap segar,” kata Siti Rahayu, 34 tahun, ahli gizi sekaligus pengelola seluruh dapur milik Yayasan Al Muttaqin.
Siti menjelaskan bahwa menu makanan yang disajikan harus memenuhi asupan gizi, baik karbohidrat, nabati, maupun protein, agar tumbuh kembang anak terjaga, angka kesakitan berkurang, dan konsentrasi belajar siswa tetap optimal.
Ia mencontohkan bahwa kecukupan kalori untuk siswa kelas 4-6 SD berkisar antara 400-700 kalori. Menu yang diberikan dikurangi 100 kalori, dan kekurangan itu ditutupi oleh jajanan siswa di sekolah. Meski begitu, kecukupan protein tetap diutamakan, melalui bahan seperti ayam, telur, daging sapi, ikan tawar, dan makanan laut. Menu juga digilir setiap pekan agar siswa tidak bosan, misalnya dengan nasi ungu yang diberi pewarna dari perasan ubi jalar.
Ketua Komite Orang Tua Siswa Yayasan Al Muttaqin, Tati Rohimah, mengaku program makan siang di sekolah sangat membantu, karena orang tua tidak perlu lagi menyiapkan makanan tambahan. Namun, orang tua tetap khawatir terhadap menu yang diberikan, sehingga perwakilan selalu memantau proses memasak setiap hari.
Mengenai program MBG, Tati mengatakan banyak orang tua khawatir karena kasus keracunan MBG di beberapa daerah. Ia menegaskan bahwa bila MBG diterapkan di sekolah milik yayasan, dapurnya harus dikelola oleh dapur sekolah sendiri.
“Dapur yang saat ini berjalan juga sering kami kontrol, apalagi dapur SPPG yang kami tidak tahu. Lebih baik bayar Rp 15 ribu aman, daripada anak jadi korban,” ujar Tati.
Bersama siswa, Tempo ikut mencicipi menu yang dihidangkan oleh dapur sekolah. Menu terdiri dari nasi ungu, irisan telur, abon sapi, dan tumis bihun buncis, dengan jus mangga sebagai makanan penutup dan air mineral sebagai minum. Menu disajikan dalam nampan plastik dengan sendok, rasanya tak kalah dengan makanan rumah makan, namun porsinya tidak cukup untuk orang dewasa.
“Kami dan para guru juga bisa makan gratis, jumlahnya mencapai 403 orang. Kalau ada tamu, kami bisa menyiapkan 10-20 porsi tambahan,” kata Yayan.
Dapur sekolah itu milik Yayasan Al Muttaqin di Kota Tasikmalaya, Jawa Barat. “Kami sudah mendaftar dua kali sejak Maret 2025, tapi tetap ditolak oleh BGN,” ujar juru bicara Yayasan Al Muttaqin, Yayan Sopyan, kepada Tempo pada Selasa, 14 Oktober 2025.
Yayan menjelaskan bahwa BGN menolak dapur sekolahnya menjadi mitra MBG karena persyaratan dan administrasi yang dimiliki tidak sesuai dengan ketentuan Badan Gizi. Yayasan menerima balasan penolakan tersebut melalui surat elektronik. Dalam surat itu disebutkan bahwa rekening koran yang diajukan tidak memenuhi ketentuan, dan luas dapur serta peralatan masak yang digunakan juga dianggap tidak modern.
“Kami tetap berharap program MBG ini bisa dikelola oleh sekolah,” ujar Yayan.
Menurut Yayan, Yayasan Al Muttaqin memiliki jenjang pendidikan mulai dari sekolah dasar (SD), sekolah menengah pertama (SMP), hingga sekolah menengah atas (SMA), dengan total 2.358 siswa. Setiap jenjang sekolah sudah memiliki dapur tersendiri seluas 6 x 6 meter, yang telah beroperasi selama 25 tahun.
Pengelola dapur sekolah, kata Yayan, adalah ahli gizi yang pernah bekerja di rumah sakit. Dua orang ahli gizi ini bertanggung jawab mengawasi dan menyiapkan menu yang akan dihidangkan kepada siswa.
“Setiap hari saya belanja ke pasar agar makanan yang dihidangkan tetap segar,” kata Siti Rahayu, 34 tahun, ahli gizi sekaligus pengelola seluruh dapur milik Yayasan Al Muttaqin.
Siti menjelaskan bahwa menu makanan yang disajikan harus memenuhi kecukupan gizi, termasuk karbohidrat, nabati, dan protein, agar tumbuh kembang anak tetap terjaga, angka kesakitan berkurang, dan konsentrasi belajar siswa optimal.
Ia mencontohkan, kecukupan kalori untuk siswa kelas 4-6 SD berkisar antara 400-700 kalori. Menu yang diberikan dikurangi 100 kalori, dan kekurangan itu ditutupi oleh jajanan siswa di sekolah. Meski begitu, kecukupan protein lebih diutamakan, dengan bahan seperti ayam, telur, daging sapi, ikan tawar, dan makanan laut. Menu juga digilir setiap pekan agar siswa tidak bosan, misalnya nasi ungu yang diberi pewarna dari perasan ubi jalar.
Ketua Komite Orang Tua Siswa Yayasan Al Muttaqin, Tati Rohimah, mengaku terbantu dengan program makan siang di sekolah. Orang tua tidak perlu lagi menyiapkan makanan tambahan, meski tetap khawatir terhadap menu yang diberikan, sehingga perwakilan orang tua selalu memantau proses memasak di dapur setiap hari.
Mengenai program MBG, Tati mengatakan banyak orang tua khawatir bila diterapkan di sekolah, apalagi banyak kasus keracunan MBG di berbagai daerah. Ia menegaskan, jika MBG diterapkan di sekolah milik yayasan, dapurnya harus dikelola oleh dapur sekolah.
“Dapur yang saat ini berjalan juga sering kami kontrol, apalagi dapur SPPG yang kami tidak tahu. Lebih baik bayar Rp 15 ribu aman, daripada anak jadi korban,” ujar Tati.
Bersama siswa, Tempo ikut mencicipi sajian dapur sekolah, yang terdiri dari nasi ungu, irisan telur, abon sapi, dan tumis bihun buncis. Makanan penutup berupa jus mangga dengan es dalam plastik, sedangkan minumnya air mineral. Menu dihidangkan dalam nampan plastik lengkap dengan sendok. Rasanya tak kalah dengan rumah makan, meski porsinya tidak cukup untuk orang dewasa.
“Kami dan para guru juga bisa makan gratis, jumlahnya mencapai 403 orang. Kalau ada tamu, kami bisa menyiapkan 10-20 porsi tambahan,” kata Yayan.





