sekilas.co – Banjir yang melanda Pulau Sumatra dan telah berlangsung hingga pekan ketiga kembali mengingatkan publik pada fakta bahwa tutupan hutan alami di pulau tersebut kini hanya tersisa sekitar 13 persen. Sebagian besar hutan alami di Sumatra telah ditebang dan dialihfungsikan untuk berbagai kepentingan, salah satunya perkebunan kelapa sawit.
Di tengah kondisi tersebut, pernyataan Presiden Prabowo Subianto yang disampaikan pada akhir Desember 2024 kembali menjadi sorotan publik. Saat itu, ia mendorong agar perluasan perkebunan sawit terus dilakukan dan menyatakan tidak perlu khawatir terhadap deforestasi.
“Namanya kelapa sawit ya pohon, kan juga punya daun. Kita bersyukur kepada Tuhan, negara lain penuh kesulitan dan ketegangan, banyak negara terlalu berharap dari Indonesia. Terutama mereka membutuhkan kelapa sawit kita. Ternyata kelapa sawit jadi bahan strategis rupanya,” ujar Prabowo dalam pidatonya di Jakarta.
Pernyataan serupa kembali disampaikan Prabowo pada puncak peringatan HUT ke-61 Partai Golkar, 5 Desember 2025. Ia menyebut kelapa sawit sebagai sebuah karunia yang dapat diolah menjadi bahan bakar minyak, baik solar maupun bensin.
“Kita punya teknologinya. Jadi, kalau kita nanti diberikan karunia oleh Yang Maha Kuasa, kita punya kelapa sawit,” ucapnya kala itu di Istora Senayan, Jakarta Pusat.
Dua pernyataan tersebut memicu kritik dan perdebatan di tengah masyarakat. Banyak pihak mempertanyakan bagaimana pernyataan semacam itu bisa disampaikan oleh seorang presiden. Lantas, benarkah kelapa sawit dapat disamakan dengan pohon yang tumbuh di hutan alami?
1. Akar kelapa sawit hanya menembus tanah hingga sekitar 50 sentimeter
Mengutip laman Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS), kelapa sawit tidak mampu menggantikan fungsi ekologis hutan alami. Tanaman ini memiliki sistem akar serabut yang hanya menembus tanah hingga kedalaman sekitar 50 sentimeter.
“Hal ini berbeda dengan tumbuhan berakar tunggang yang dapat menembus tanah hingga kedalaman lima meter,” ujar dosen ekologi UMS, Santhyami, dikutip Sabtu (13/12/2025).
Akar sawit yang dangkal membuat tanah tidak tergemburkan secara optimal. Akibatnya, rongga tanah untuk aliran udara dan air menjadi terbatas. Ketika hujan deras terjadi, air sulit meresap ke dalam tanah dan cenderung mengalir di permukaan.
“Kelapa sawit tidak memiliki kemampuan menyimpan atau mengikat air sebaik pohon-pohon kayu seperti meranti, pulai, atau jenis pohon hutan lainnya,” jelas Santhy.
Senada dengan itu, Dekan Fakultas Biologi Universitas Gadjah Mada (UGM), Budi Setiadi Daryono, menyebut telah ada regulasi dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan yang menegaskan sawit bukan tanaman hutan.
“Peraturan Menteri LHK Nomor P.23/2021 telah menyatakan bahwa sawit tidak termasuk tanaman rehabilitasi hutan dan lahan,” ujar Budi dalam keterangan tertulis.
Ia juga mengingatkan agar pejabat publik berhati-hati dalam menyampaikan pernyataan agar tidak menimbulkan kesalahpahaman di ruang publik.
2. Perkebunan sawit dibuka dengan menebang hutan alami
Sementara itu, Kepala Global Greenpeace Kampanye Hutan Indonesia, Kiki Taufik, menjelaskan bahwa pembukaan kebun sawit justru dilakukan dengan menebangi hutan alami hingga habis.
“Ekosistem yang terbentuk selama ratusan tahun bisa hilang seluruhnya dalam waktu kurang dari satu bulan ketika alat berat digunakan,” kata Kiki dalam program Ngobrol Seru by IDN Times di YouTube.
Ia menambahkan, sawit tidak dapat ditanam berdampingan dengan tanaman lain, sehingga keanekaragaman hayati hampir tidak ditemukan di perkebunan sawit.
“Kemampuannya untuk menahan laju air juga tidak ada,” ujarnya.
Kiki juga menyebut bahwa sawit bukan tanaman asli Indonesia. Tanaman ini berasal dari Afrika dan dibawa ke Indonesia oleh Belanda sekitar satu abad lalu, dengan uji coba awal dilakukan di Kebun Raya Bogor.
“Sumatra menjadi wilayah pertama penanaman sawit di Indonesia. Karena itu, di Sumatra Utara dan Riau banyak kebun sawit yang kini berusia 20 hingga 30 tahun,” katanya.
Tantangan lain dari sawit adalah proses penanaman ulang yang tidak sederhana. Berbeda dengan kelapa, sawit harus ditanam kembali dari awal setelah masa produktivitasnya berakhir.
“Perlu dilakukan replanting, membongkar kembali lahan, merusak ekosistem, lalu menanam sawit baru. Sawit merupakan tanaman yang mahal, tidak efektif, dan tidak ramah lingkungan,” tambahnya.
3. Sawit tidak mampu menahan laju air
Dengan demikian, meski secara teknis sawit tergolong tanaman atau pohon, fungsinya sangat berbeda dengan pohon hutan alami, terutama dalam menahan laju air saat curah hujan tinggi. Selain itu, sawit juga termasuk tanaman yang boros lahan.
Dalam satu hektare kebun sawit, hanya dapat ditanam sekitar 140–150 pohon, tergantung jarak tanam. Sementara itu, hutan alami mampu menampung sekitar 1.500 hingga 2.500 pohon dalam luasan yang sama. Kondisi inilah yang membuat pembukaan kebun sawit erat kaitannya dengan deforestasi.
Oleh karena itu, pernyataan yang menyamakan kelapa sawit dengan pohon-pohon di hutan alami dinilai keliru dan tidak mencerminkan fungsi ekologis yang sebenarnya.





