sekilas.co – PT Bank Syariah Indonesia Tbk (BSI) memproyeksikan perekonomian Indonesia pada 2026 tetap tangguh dengan pertumbuhan sekitar 5,28 persen, meningkat dari 5,04 persen pada 2025.
Menurut Chief Economist BSI, Banjaran Surya, dalam Sharia Economic Outlook 2026 di Jakarta, Kamis, proyeksi tersebut ditopang oleh konsumsi rumah tangga yang terus menjadi kontributor utama Produk Domestik Bruto (PDB), penguatan investasi terutama Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN), serta belanja fiskal yang masih ekspansif namun lebih prudent.
“Banyak hal yang terjadi di luar ekspektasi dan menjadi batu ganjalan bagi pertumbuhan yang lebih tinggi. Sebagian besar berasal dari faktor global terkait perdagangan di real sector, namun ada pula faktor global dari pasar uang yang menjadi ombak cukup menantang menghadapi 2025 hingga 2026,” ujarnya.
Outlook 2026 tersebut dibangun di atas delapan pilar utama, yakni normalisasi perdagangan global, realokasi aset ke emerging markets, penguatan daya tarik rupiah, program prioritas pemerintah, “Efek Purbaya” dalam kebijakan ekonomi, daya tahan konsumsi, agenda hilirisasi, serta proyeksi indikator ekonomi utama.
Faktor-faktor itu dinilai menunjukkan bahwa perekonomian Indonesia akan relatif kuat memasuki 2026 meskipun lanskap global masih penuh ketidakpastian.
Banjaran menjelaskan bahwa pada 2026 terdapat lima dinamika global yang diproyeksikan mempengaruhi kinerja ekonomi Indonesia, baik dari sektor riil maupun finansial. Kelima faktor tersebut mencakup risiko utang negara (sovereign debt risk), potensi terbentuknya asset bubble akibat valuasi pasar yang terlalu tinggi, bayang-bayang perang dagang, pertumbuhan ekonomi global yang terfragmentasi, serta perubahan lanskap perdagangan yang didorong oleh produktivitas berbasis AI.
Faktor-faktor itu diprediksi menjadi sumber tekanan sekaligus dukungan bagi empat komponen utama perekonomian, yaitu konsumsi, investasi, belanja pemerintah, dan aktivitas perdagangan.
BSI memprediksi inflasi 2026 berada di kisaran 2,94 persen, dengan risiko utama berasal dari volatile food akibat kondisi iklim. Sementara itu, BI-Rate diperkirakan turun ke 4,25 persen pada akhir tahun seiring pelonggaran global dan inflasi yang tetap terjaga.
Selain itu, stabilitas rupiah diproyeksikan ditopang oleh potensi rebound aliran modal asing, pengelolaan devisa melalui cadangan yang berada di sekitar 150 miliar dolar AS, serta optimalisasi instrumen Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI) dan pasar obligasi domestik.
Yield Surat Berharga Negara (SBN) tenor 10 tahun diperkirakan berada pada rata-rata 6,49 persen sepanjang 2026, tingkat yang dinilai tetap menarik bagi investor dengan risiko yang terukur.
Tahun 2026 juga diproyeksikan menjadi momentum perluasan implementasi berbagai program pemerintah, mulai dari ekosistem makan bergizi gratis, penguatan layanan kesehatan dan pendidikan, dukungan untuk UMKM, hingga program pangan dan energi. Seluruhnya diperkirakan mendorong permintaan domestik dan investasi di berbagai sektor, dari pertanian hingga logistik pangan.
Terkait “Efek Purbaya”, Banjaran menjelaskan bahwa hal tersebut menggambarkan kombinasi kebijakan yang ekspansif tetapi tetap berhati-hati di sektor fiskal dan keuangan. Penempatan Saldo Anggaran Lebih (SAL) sebesar Rp276 triliun di perbankan, termasuk di BSI, diharapkan memperkuat likuiditas, menurunkan cost of fund, serta mendorong pertumbuhan pembiayaan kembali ke kisaran dua digit. Langkah ini diproyeksikan mendorong aktivitas ekonomi melalui keterlibatan aktif sektor swasta sehingga menciptakan lapangan kerja dan memperkuat kelas menengah.
Dari sisi produksi, Banjaran menegaskan bahwa hilirisasi masih menjadi mesin utama pertumbuhan jangka menengah. Proyeksi sektoral BSI menunjukkan percepatan pertumbuhan di industri pengolahan, perdagangan, akomodasi dan makan-minum, transportasi, serta jasa informasi dan komunikasi—seluruhnya berada di atas rata-rata PDB pada 2026.
Tim ekonom BSI mencatat bahwa realisasi investasi triwulan III-2025 mencapai Rp491,4 triliun, tumbuh 13,9 persen (yoy), dengan PMDN sebesar Rp279,4 triliun dan Penanaman Modal Asing (PMA) Rp212 triliun.
Ke depan, hilirisasi dan pergeseran fokus kebijakan diprediksi menjadikan PMDN sebagai motor utama investasi, sementara PMA cenderung lebih selektif dan menitikberatkan pada sektor bernilai tambah tinggi dan berorientasi ekspor.
Di tengah tantangan risiko global, kedalaman pasar keuangan yang masih terbatas, serta kebutuhan penciptaan lapangan kerja berkualitas, Indonesia dinilai tetap berpeluang mencapai pertumbuhan yang lebih inklusif dan berkelanjutan melalui kebijakan yang tepat sasaran.





