Alasan Gugatan Tunjangan Pensiun Anggota DPR ke MK

foto/istimewa

sekilas.co – Hak keuangan berupa tunjangan pensiun bagi mantan anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) kembali menjadi sorotan. Dalam 17+8 Tuntutan Rakyat setelah gelombang demonstrasi pada akhir Agustus lalu, publik sempat menyoroti poin mengenai penghapusan tunjangan pensiun anggota DPR. Sebulan pasca demonstrasi besar tersebut, regulasi yang mengatur hak pensiun anggota DPR digugat ke Mahkamah Konstitusi. Lantas, mengapa hak pensiun DPR digugat?

Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1980 tentang Hak Keuangan/Administrasi Pimpinan dan Anggota Lembaga Tertinggi/Tinggi Negara serta Bekas Pimpinan dan Anggota Lembaga Tinggi Negara mengatur bahwa pimpinan dan anggota lembaga tinggi negara berhak menerima uang pensiun. Besaran uang pensiun ditentukan berdasarkan lamanya masa jabatan dan diberikan melalui Keputusan Presiden.

Baca juga:

Seorang psikiater bernama Lita Linggayani dan seorang mahasiswa bernama Syamsul Jahidin mengajukan uji materiil terhadap Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1980 terkait hak pensiun anggota DPR. Gugatan mereka tercatat dengan nomor perkara 176/PUU-XXIII/2025. Keduanya menargetkan Pasal 1 huruf a, Pasal 1 huruf f, dan Pasal 12 dari undang-undang tersebut.

Dalam permohonannya, Lita menilai tidak adil baginya menanggung biaya tunjangan pensiun bagi anggota DPR yang hanya menjabat lima tahun, padahal dana negara untuk pensiun tersebut bersumber dari pajak yang dibayarkannya.

Sebagai Pemohon I dalam uji materiil ini, Lita juga berpendapat bahwa penyaluran pensiun bagi anggota DPR menambah beban APBN. Apalagi, menurut perhitungannya, ada sekitar 5.175 mantan anggota DPR yang berhak menerima uang pensiun sejak undang-undang itu diberlakukan.

Pemohon I tidak rela pajaknya digunakan untuk membayar anggota DPR yang hanya menjabat lima tahun tetapi mendapatkan tunjangan pensiun seumur hidup dan dapat diwariskan,” demikian tertulis dalam permohonannya.

Menyelisik Regulasi yang Mengatur Hak Pensiun Anggota DPR

Pasal 12 ayat (1) UU Nomor 12 Tahun 1980 menyatakan bahwa pimpinan dan anggota DPR yang berhenti dengan hormat berhak menerima tunjangan pensiun. Undang-undang ini tidak hanya mengatur anggota DPR, tetapi juga hak pensiun bagi anggota lembaga lain seperti Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), Dewan Pertimbangan Agung, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), dan Mahkamah Agung (MA).

Pada Pasal 13 ayat (1), disebutkan bahwa besaran uang pensiun ditetapkan berdasarkan lamanya masa jabatan. “Besarnya pensiun pokok sebulan adalah satu persen dari dasar pensiun untuk tiap satu bulan masa jabatan dengan ketentuan minimum enam persen dan maksimum tujuh puluh lima persen dari dasar pensiun,” bunyi Pasal 13 ayat (2).

Legislator yang menjabat penuh satu periode atau diberhentikan karena alasan kesehatan akibat dinas dapat memperoleh tunjangan pensiun hingga 75 persen.

Berdasarkan Pasal 15, tunjangan pensiun mantan anggota DPR dibayarkan mulai bulan berikutnya setelah legislator berhenti dengan hormat. Sedangkan Pasal 26 menyebutkan bahwa tunjangan pensiun dibebankan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).

Guru besar ilmu hukum tata negara Universitas Jenderal Soedirman, Muhammad Fauzan, mengatakan bahwa uji materiil terhadap hak pensiun anggota DPR laik dan sah, karena aturan yang ada sudah terlalu usang dan perlu penyesuaian.

Fauzan menyebut, anggota DPR tetap memperoleh tunjangan pensiun meski masa jabatan singkat. Menurutnya, dari sisi keadilan, tunjangan yang diterima mantan anggota DPR tidak sejalan dengan rakyat yang diwakili, sebab anggota DPR yang bekerja lima tahun tetap berhak atas tunjangan pensiun seumur hidup.

Peneliti Indonesian Parliamentary Center, Arif Adiputro, menjelaskan skema pemberian uang pensiun bagi anggota DPR. Ia menyebut bahwa uang pensiun diberikan seumur hidup, dan jika penerima meninggal, pasangan berhak atas separuh nilainya. Hak pensiun ini juga bisa diturunkan kepada keturunan mantan anggota DPR selama anak masih di bawah umur.

Meskipun nominalnya tidak sebesar gaji saat menjabat, Arif menegaskan bahwa gugatan yang diajukan Lita dan Syamsul merupakan upaya warga negara meminta MK meninjau ulang kesesuaian pemberian pensiun bagi DPR dengan kondisi saat ini.Manfaat seumur hidup untuk kerja lima tahun inilah inti gugatan dan sumber rasa ketidakadilan di masyarakat,” kata Arif.

Reaksi DPR Saat Hak Pensiunnya Digugat

Dua pimpinan DPR turut menanggapi gugatan terhadap hak pensiun mereka. Ketua DPR Puan Maharani menilai gugatan sebagai bentuk aspirasi. “Kami hargai aspirasi, tapi semuanya ada aturan,” kata Puan di Kompleks DPR/MPR, Jakarta, Kamis, 2 Oktober 2025.

Politikus PDI Perjuangan ini menekankan bahwa pemberian uang pensiun bagi DPR memiliki dasar hukum yang sah. Aturan ini berlaku menyeluruh bagi lembaga tinggi negara, termasuk DPR, BPK, hingga hakim MA. “Aturannya menyeluruh, bukan hanya untuk satu lembaga tertentu,” ujar Puan.

Sementara itu, Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad menyatakan pihaknya akan mematuhi keputusan MK nantinya. Politikus Partai Gerindra itu menegaskan, anggota DPR selama ini hanya mengikuti aturan yang berlaku. “Ini produk undang-undang yang sudah ada sejak beberapa waktu lalu,” kata Dasco di gedung DPR, Rabu, 1 Oktober 2025. Ia menambahkan, “Apapun putusannya, kami akan ikut.

Artikel Terkait