Sekilas.co – Nilai tukar rupiah diperkirakan masih memiliki peluang untuk terus melanjutkan penguatannya terhadap dolar Amerika Serikat (AS) menjelang pengumuman hasil rapat kebijakan suku bunga bank sentral AS, Federal Open Market Committee (FOMC), yang akan berlangsung pada Rabu (17/9) waktu setempat atau Kamis dini hari waktu Indonesia.
Pada pembukaan perdagangan Rabu pagi, rupiah tercatat naik tipis sebesar 21 poin atau sekitar 0,13 persen menjadi Rp16.419 per dolar AS. Posisi tersebut menguat dibandingkan dengan penutupan sebelumnya yang berada di Rp16.440 per dolar AS.
Analis mata uang Doo Financial Futures, Lukman Leong, ketika dihubungi di Jakarta mengatakan bahwa sepanjang perdagangan Rabu, rupiah diproyeksikan akan bergerak dalam rentang Rp16.350 hingga Rp16.500 per dolar AS. Menurutnya, ruang penguatan rupiah terbuka lebar karena tren pelemahan dolar AS dalam beberapa hari terakhir.
“Rupiah masih berpotensi menguat terhadap dolar AS yang terus tertekan menjelang rapat FOMC. Namun, penguatannya diperkirakan terbatas karena masih ada faktor risiko dari dalam negeri, khususnya polemik terkait perluasan mandat Bank Indonesia,” jelas Lukman.
Isu mengenai perluasan mandat Bank Indonesia saat ini memang sedang ramai diperbincangkan di DPR RI. Hal itu masuk dalam pembahasan revisi Undang-Undang tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (UU P2SK). Dalam revisi tersebut, tujuan BI tidak hanya menjaga stabilitas nilai rupiah, tetapi juga ditambah dengan peran menjaga stabilitas sistem keuangan demi mendukung pertumbuhan ekonomi nasional. Meski begitu, pembahasan aturan ini masih dalam tahap diskusi dan belum diputuskan final.
Selain menunggu arah kebijakan The Fed, pelaku pasar juga memantau rapat penting di dalam negeri, yaitu Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bank Indonesia yang berlangsung pada Rabu pukul 14.00 WIB. Keputusan hasil RDG BI ini akan menjadi salah satu faktor penentu arah rupiah dalam jangka pendek.
Sejumlah ekonom memperkirakan BI masih akan menahan suku bunga acuan (BI-Rate) di level 5 persen pada bulan September 2025. Chief Economist Bank Mandiri, Andry Asmoro, menyebutkan BI kemungkinan belum akan melakukan perubahan kebijakan dalam waktu dekat karena masih ingin melihat sejauh mana transmisi kebijakan moneter yang sudah diambil sebelumnya.
“View kami flat, BI-Rate tetap di 5 persen. Alasannya, BI akan lebih dulu meng-assess atau mengevaluasi transmisi kebijakan moneter yang sudah berjalan sebelum melakukan langkah baru,” ujar Andry.
Pandangan serupa juga disampaikan oleh Myrdal Gunarto, Global Markets Economist Maybank Indonesia. Menurutnya, stabilitas moneter dan makroekonomi harus dijaga di tengah ketidakpastian global. Ia mengingatkan bahwa BI sudah menurunkan suku bunga sebesar 125 basis poin sejak September tahun lalu, dan dampaknya masih dalam proses dirasakan oleh perekonomian.
“Dengan kondisi global yang masih penuh risiko, saya rasa BI akan memilih menjaga suku bunga tetap di level saat ini untuk sementara waktu,” kata Myrdal.
Dengan kombinasi faktor eksternal berupa pelemahan dolar AS menjelang keputusan The Fed, serta faktor domestik terkait kebijakan moneter BI dan dinamika politik-ekonomi dalam negeri, rupiah diperkirakan akan bergerak fluktuatif dalam jangka pendek. Meski begitu, peluang penguatan rupiah tetap ada, terutama jika sentimen global mendukung dan kebijakan domestik berjalan konsisten menjaga stabilitas ekonomi.





