Sekilas.co – Dalam dua dekade terakhir, dunia mengalami percepatan luar biasa menuju ekonomi digital. Pembayaran nontunai, yang sebelumnya hanya menjadi alternatif, kini semakin mendominasi.
Didorong oleh kemajuan teknologi, kemudahan penggunaan, dan percepatan transaksi, pembayaran digital dianggap sebagai wajah baru ekonomi global.
Pandemi Covid-19 semakin mempercepat tren ini karena masyarakat harus mengurangi kontak fisik. Sementara itu, generasi muda yang terbiasa dengan teknologi digital mendorong penggunaan dompet elektronik, QR code, dan transfer instan. Banyak pihak pun percaya bahwa masyarakat tanpa uang tunai hanyalah masalah waktu.
Namun, pengalaman beberapa negara menunjukkan bahwa sepenuhnya meninggalkan uang tunai bukanlah keputusan yang bijak. Negara negara Nordik, seperti Swedia dan Norwegia, yang selama ini menjadi pionir pembayaran digital, mulai meninjau kembali kebijakan mereka.
Ancaman serangan siber, perang, dan bencana alam mengingatkan akan peran vital uang tunai sebagai jangkar sistem keuangan.
Di Swedia, misalnya, hanya sekitar 10 persen transaksi ritel yang masih menggunakan uang tunai, dibandingkan hampir 50 persen di kawasan euro. Meski demikian, pemerintah Swedia baru baru ini meminta warganya menyimpan cadangan uang tunai untuk kebutuhan minimal satu minggu, seiring meningkatnya risiko geopolitik dan kerentanan infrastruktur digital.
Di Indonesia, dinamika serupa mulai terasa, meski dengan konteks berbeda. Bank Indonesia (BI) mencatat nilai transaksi uang elektronik mencapai Rp510 triliun pada 2023, naik signifikan dari Rp201 triliun pada 2019.
Transaksi QRIS (Quick Response Code Indonesian Standard) bahkan tumbuh lebih cepat: dari hanya 13 juta transaksi pada 2020 menjadi lebih dari 1,5 miliar transaksi pada 2023, dengan nilai mencapai Rp229 triliun.
BI menargetkan 45 juta merchant sudah terhubung dengan QRIS pada 2025. Angka-angka ini menunjukkan seberapa cepat masyarakat Indonesia beradaptasi dengan sistem pembayaran digital.
Namun, di balik euforia digital, realitas sosial dan geografis Indonesia menimbulkan tantangan bagi visi masyarakat tanpa uang tunai.
Data OJK 2022 menunjukkan indeks inklusi keuangan mencapai 85 persen, tetapi literasi keuangan baru 49,7 persen. Artinya, hampir separuh masyarakat belum memahami produk keuangan formal, meski memiliki akses. Sekitar 97 juta orang masih unbanked atau underbanked dan tetap mengandalkan uang tunai.
Kondisi geografis sebagai negara kepulauan juga membatasi infrastruktur listrik dan internet, terutama di daerah 3T. Di wilayah ini, uang tunai tetap vital, apalagi saat bencana alam mengganggu sistem digital, seperti pengalaman Selandia Baru saat badai Gabrielle 2023.
Faktor sosial juga signifikan. Sebagian masyarakat berpenghasilan rendah tidak memiliki smartphone, rekening bank, atau internet. Survei Bank Dunia 2021 mencatat 51 persen orang dewasa Indonesia belum memiliki rekening bank formal, sehingga transisi nontunai penuh berisiko menyingkirkan kelompok rentan.
Masalah privasi pun penting. Transaksi digital, terutama dengan mata uang digital bank sentral (CBDC), memungkinkan pencatatan lengkap setiap transaksi. Meski meningkatkan transparansi, hal ini berpotensi disalahgunakan, terutama di Indonesia yang masih rawan kebocoran data. Menjaga uang tunai berarti juga menjaga ruang privasi masyarakat.
Di sinilah konsep sistem pembayaran hibrida menjadi relevan bagi Indonesia: digitalisasi pembayaran tetap penting, tetapi uang tunai tidak boleh diabaikan. Keduanya harus berjalan berdampingan.
Bank Indonesia (BI) menekankan strategi “less-cash society” ketimbang “cashless society”. Pada Maret 2024, peredaran uang kartal mencapai Rp986 triliun, menunjukkan bahwa meski transaksi digital meningkat, uang tunai tetap memainkan peran besar.
Untuk masa depan, ada beberapa langkah penting: pertama, memastikan ketersediaan uang tunai terutama di kondisi darurat dan daerah terpencil; kedua, meningkatkan literasi keuangan untuk mencegah penipuan dan masalah pengelolaan keuangan; ketiga, memperkuat sistem digital melalui keamanan siber, infrastruktur internet, dan riset uang digital (CBDC Rupiah Digital); keempat, mengadopsi pendekatan inklusif agar transformasi digital tidak memperlebar kesenjangan, karena masyarakat urban dan pedesaan memiliki kebutuhan berbeda.
Masa depan uang tunai bukan soal hilang atau tidak, melainkan bagaimana menempatkannya secara strategis dalam ekosistem pembayaran yang sehat. Uang digital akan semakin dominan, tetapi uang kertas tetap menjadi jangkar, cadangan, dan simbol inklusivitas. Modernisasi keuangan harus tetap sejalan dengan ketahanan, keadilan, dan kedaulatan ekonomi bangsa.





