Sekilas.co – Menteri Perdagangan RI, Budi Santoso, menyampaikan bahwa aturan terkait rencana impor bahan bakar minyak (BBM) dari Amerika Serikat (AS) masih dalam proses pembahasan lintas kementerian.
Ia mengatakan bahwa pihaknya telah menyampaikan surat kepada Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian.
“Ya sekarang masih progres terus ya, kan itu nanti sesuai PP Nomor 29 Tahun 2021, itu kan masuk lartas (larangan dan/atau pembatasan) ya. Pengenaan lartas itu kan harus dirapatkan atau dikurasi oleh Kemenko Perekonomian. Jadi kami sudah komunikasi dan sudah menyampaikan surat juga ke Kemenko Perekonomian,” ujar Budi di Jakarta, Senin.
Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 29 Tahun 2021 mengatur penyelenggaraan perdagangan, termasuk ekspor dan impor. Impor BBM termasuk kategori lartas, artinya meskipun dapat dilakukan, mekanismenya harus diatur ketat dan memperoleh persetujuan lintas kementerian/lembaga.
Rencana impor BBM ini digagas oleh Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) untuk mengatasi kelangkaan bensin di beberapa stasiun pengisian bahan bakar umum (SPBU) swasta, seperti Shell dan bp (British Petroleum), yang terjadi sejak Agustus 2025.
Sebelumnya, Wakil Menteri ESDM, Yuliot Tanjung, menjelaskan bahwa impor ini juga bertujuan memenuhi komitmen neraca perdagangan Indonesia dengan Amerika Serikat. Ia menyebut perusahaan migas AS seperti ExxonMobil dan Chevron sebagai opsi pemasok.
“Itu kan perusahaan AS. Jadi, dari mana pun mereka melakukan pengadaan, itu terserah. Tetapi ini kami catatkan sebagai trade balance Indonesia dengan Amerika,” ujarnya.
Yuliot memperkirakan Indonesia perlu mengimpor BBM sebesar 1,4 juta kiloliter (KL) berdasarkan data sementara. Volume ini merupakan akumulasi peralihan masyarakat dari BBM bersubsidi (Pertalite) ke BBM nonsubsidi.
“Jadi, untuk kebutuhan yang disampaikan, data sementara 1,4 juta KL, jadi itu nanti berapa porsi Pertamina, berapa porsi badan usaha,” jelasnya.
Kementerian ESDM meminta masing-masing badan usaha, termasuk Pertamina, untuk merinci kebutuhan impor BBM hingga akhir tahun. Data ini diperlukan agar Kementerian ESDM bisa memberikan izin impor yang sesuai.
“Jadi, per badan usaha harus kami detailkan. Karena itu nanti proses impornya akan dilakukan satu pintu (lewat Pertamina). Jadi jangan sampai ada yang sudah diberikan, lalu tidak cukup,” tambah Yuliot.
Kelangkaan BBM di SPBU swasta telah berlangsung sejak Agustus 2025 karena pengelola SPBU tidak mendapatkan kuota impor tambahan. Untuk memenuhi kebutuhan, Menteri ESDM, Bahlil Lahadalia, menyarankan SPBU swasta membeli dari Pertamina.
Pengelola SPBU swasta diminta mengumpulkan data volume dan spesifikasi BBM yang dibutuhkan ke Kementerian ESDM. Data ini akan menjadi dasar bagi Pertamina untuk melakukan pengadaan.
Jika Pertamina mampu memenuhi kebutuhan SPBU swasta tanpa tambahan impor, Indonesia tidak perlu melakukan impor BBM lagi. Namun, jika diperlukan, impor tambahan dapat dilakukan oleh Pertamina untuk memenuhi kebutuhan tersebut.





