Kusumo Martanto Diperiksa Terkait Dugaan Korupsi Laptop Nadiem Makarim

Foto/istimewa

Sekilas.co – Direktorat Penyidikan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) memeriksa Kusumo Martanto, Presiden Direktur PT Global Digital Niaga (GDN) induk usaha dari Blibli dan Tiket.com terkait penyelidikan dugaan korupsi dalam Program Digitalisasi Pendidikan Kemendikbudristek periode 2019–2022.

Selain Kusumo, penyidik juga memeriksa sejumlah pihak lainnya, yakni ANW yang menjabat Direktur PT Tritunggal Jaya Komputindo, AK sebagai Manajer Penjualan PT Aneka Sakti Bakti (ASABA), serta LSL dalam kapasitasnya sebagai Konsultan Spesialis di PT Tera Data Indonesia Tbk, seperti dilansir Bloomberg pada Sabtu (13/9).

Baca juga:

Kejaksaan menambahkan bahwa Blibli merupakan bagian dari konglomerasi bisnis Djarum Group, dan telah resmi melantai di bursa sebagai perusahaan publik sejak tahun 2022.

PT Global Digital Niaga sendiri mengusung model bisnis omnichannel, yang mengintegrasikan layanan belanja daring (e-commerce) dan toko fisik untuk melayani berbagai kebutuhan konsumen.

Kapuspenkum Kejagung, Anang Supriatna, menyampaikan bahwa pemanggilan saksi-saksi ini bertujuan memperkuat alat bukti serta melengkapi berkas perkara atas nama tersangka Mulyatsyah, mantan pejabat Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi.

Adapun mantan Mendikbudristek, Nadiem Anwar Makarim, telah ditetapkan sebagai tersangka oleh Kejaksaan Agung sejak 4 September 2025.

Eks CEO Gojek itu dijerat bersama empat tersangka lainnya yang lebih dulu diumumkan, yaitu Jurist Tan (mantan staf khusus menteri yang kini buron), Ibrahim Arief (eks konsultan kementerian dan mantan Wakil Presiden Bukalapak), serta dua pejabat internal Kemendikbudristek, yakni Sri Wahyuningsih dan Mulyatsyah.

Sejumlah tokoh dari sektor swasta juga turut dipanggil sebagai saksi, termasuk nama-nama dari ekosistem GoTo perusahaan yang turut didirikan Nadiem. Di antaranya, mantan CEO Andre Soelistyo dan Presiden Direktur Tokopedia, Melissa Siska Juminto.

Dalam proses penyidikan, Kejaksaan menduga para tersangka memainkan peran dalam pengadaan 1,2 juta unit laptop untuk memaksakan penggunaan Chrome OS, meskipun tim teknis menyarankan sistem operasi Windows.

Distribusi perangkat ini menyasar berbagai daerah, termasuk wilayah 3T (tertinggal, terdepan, dan terluar). Namun, efektivitas penggunaan Chromebook dipertanyakan mengingat ketergantungan sistemnya pada koneksi internet, yang di banyak wilayah 3T masih sangat terbatas. Akibatnya, tujuan digitalisasi pendidikan menjadi tidak maksimal.

Kejaksaan memperkirakan potensi kerugian negara dalam proyek ini mencapai Rp1,98 triliun, terdiri dari sekitar Rp480 miliar untuk software CDM dan Rp1,5 triliun akibat mark-up harga laptop.

Artikel Terkait