Ekonom Pemotongan DAU di PP 38/2025 Wajar Tapi Harus Proporsional

foto/istimewa

sekilas.co – Ekonom Center of Reform on Economics (CORE), Yusuf Rendy Manilet, menilai ketentuan pemotongan DAU atau DBH bagi pemerintah daerah (pemda) yang menunggak pembayaran merupakan mekanisme logis sebagai pengaman fiskal. Namun, pelaksanaannya harus tetap proporsional.

Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 38 Tahun 2025 ditetapkan pada 10 September 2025. PP ini memungkinkan pemerintah pusat memberikan pinjaman kepada pemda, BUMN, dan BUMD, menggunakan dana dari APBN.

Baca juga:

“Jika pemotongan dilakukan secara kaku tanpa mempertimbangkan kondisi fiskal daerah, pelayanan publik berpotensi terganggu,” kata Yusuf saat dihubungi di Jakarta, Rabu.

Yusuf mengingatkan bahwa kebijakan ini bisa menjadi beban tambahan bagi daerah, terutama yang memiliki ruang fiskal sempit dan masih bergantung pada transfer pusat untuk membiayai layanan dasar seperti pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur publik.

Oleh karena itu, mekanisme pemotongan DAU atau DBH sebaiknya diterapkan secara selektif dan proporsional, dengan mempertimbangkan kemampuan keuangan daerah serta kemungkinan skema restrukturisasi atau penjadwalan ulang pembayaran.

“Prinsip utamanya adalah menjaga disiplin fiskal tanpa mengorbankan fungsi layanan publik yang menjadi tanggung jawab daerah,” tambah Yusuf.

Hal senada juga disampaikan Kepala Ekonom Permata Bank, Josua Pardede. Ia memandang bahwa persyaratan kesediaan pemotongan transfer umum dan bagi hasil bagi pemda merupakan alat disiplin yang kuat untuk melindungi APBN dari risiko gagal bayar.

PP 38/2025 mewajibkan surat pernyataan kesediaan pemotongan serta surat kuasa pemotongan dari kepala daerah sebagai bagian dari berkas permohonan pinjaman.

Menurut Josua, secara manajemen risiko, mekanisme penyekat ini menurunkan kemungkinan arus kas negara tersendat ketika terjadi tunggakan. Namun, mekanisme tersebut berpotensi memberatkan pemda yang sangat bergantung pada transfer pusat.

“Jika pemotongan dilakukan besar-besaran tanpa batas, layanan dasar seperti kesehatan, pendidikan, dan infrastruktur bisa terganggu,” ujarnya.

Karena itu, pemotongan sebaiknya diposisikan sebagai langkah terakhir setelah upaya restrukturisasi. Jika memang harus dilakukan, porsinya harus dibatasi agar tidak menggerus belanja wajib.

“Pemerintah juga perlu mensyaratkan agar pemda yang mengajukan pinjaman telah mengoptimalkan kasnya sendiri dan memastikan proyek yang dibiayai memberi tambahan pendapatan atau penghematan, sehingga beban cicilan tidak murni menekan belanja layanan,” tambah Josua.

Pasal 13 ayat (1) PP 38/2025 merinci dokumen yang harus disertakan pemda dalam permohonan pinjaman, termasuk surat pernyataan kesediaan pemotongan DAU dan/atau DBH serta surat kuasa pemotongan dari gubernur/wali kota/bupati.

Dokumen lain yang harus dilampirkan antara lain persetujuan DPRD, pertimbangan tertulis dari menteri bidang dalam negeri dan menteri bidang perencanaan pembangunan nasional, studi kelayakan, perhitungan APBD dan rasio kemampuan keuangan daerah, laporan keuangan diaudit tiga tahun terakhir, serta APBD tahun berjalan.

Pasal 12 ayat (1) juga merinci syarat pemda, antara lain: sisa pembiayaan utang ditambah pembiayaan baru tidak melebihi 75 persen dari pendapatan APBD tahun sebelumnya yang tidak ditentukan penggunaannya; rasio kemampuan keuangan daerah untuk mengembalikan utang minimal 2,5; dan tidak memiliki tunggakan pengembalian pinjaman dari pemerintah pusat atau kreditur lain.

Pemberian pinjaman oleh pemerintah pusat bertujuan mendukung pembangunan/penyediaan infrastruktur, pelayanan publik, pemberdayaan industri dalam negeri, pembiayaan sektor ekonomi produktif/modal kerja, serta pembangunan atau program lain sesuai kebijakan strategis pemerintah pusat.

Artikel Terkait