Serikat Pekerja Kampus Laporkan 91 Kasus Pelecehan Seksual Verbal di Lingkungan Kampus

foto/istimewa

sekilas.co – Peneliti dari Departemen Penelitian dan Pengembangan Serikat Pekerja Kampus, Dian Noeswantari, mengungkapkan bahwa 91 kasus kekerasan seksual verbal terjadi di lingkungan kampus selama kurang lebih setahun terakhir. Data ini diperoleh dari survei dalam modul penelitian keamanan kerja dan kesejahteraan psikologis yang dilakukan oleh Serikat Pekerja Kampus.

“Soal ujaran yang mendiskriminasi tampilan fisik, tercatat 109 laporan. Sedangkan ucapan bernuansa seksual ada 91 laporan. Hal ini dianggap ‘normal’ dalam tanda kutip,” kata Dian dalam diseminasi hasil riset survei nasional Serikat Pekerja Kampus 2025 yang digelar secara daring pada Sabtu, 25 Oktober.

Baca juga:

Dian mengatakan, tidak adanya laporan mengenai kasus perkosaan atau penyiksaan seksual bukan berarti kasus tersebut tidak terjadi sama sekali. Hal ini menunjukkan adanya budaya bungkam yang kuat di kalangan korban.

“Saya tahu ada beberapa laporan terkait pemerkosaan atau bentuk pelecehan seksual, tapi tidak semua orang bersedia melaporkannya,” ujarnya.

Selain menemukan kasus kekerasan seksual, survei Serikat Pekerja Kampus juga menemukan kekerasan fisik berbasis ekonomi. Dian menjelaskan bahwa bentuk kekerasan ini bukan penganiayaan konvensional, melainkan eksploitasi melalui kerja paksa untuk memberikan keuntungan ekonomi bagi pelaku. Ia mencontohkan kasus dosen muda yang baru masuk diberi beban kerja berlebih.

“Itu ada 46 laporan. Jadi ini jauh melebihi jumlah perkelahian yang dilaporkan, yakni 19,” katanya.

Kasus kekerasan lain termasuk tawuran dengan 13 laporan, serta 140 laporan kekerasan psikis yang menargetkan reputasi dan hubungan sosial. Dian menyebut kekerasan psikis ini merupakan yang paling umum, biasanya dilakukan melalui penyebaran rumor atau gosip, yang umumnya disebabkan oleh persoalan suka atau tidak suka.

Selain itu, terdapat 125 laporan pengabaian dan 98 laporan pengucilan. Dian menuturkan efektivitas program pencegahan dan penanganan kekerasan di kampus bervariasi, tergantung jenis ancamannya. Ia menambahkan, keberanian seseorang melapor dipengaruhi oleh cepat tidaknya mekanisme penanganan kasus kekerasan.

“Ada yang melaporkan, ada pula yang tidak. Kemudian ada yang cepat tanggap, ada pula yang tidak. Jadi ini kondisi paradoksnya,” ucapnya.

Anggota Dewan Pengawas Serikat Pekerja Kampus, Rizma Afian Azhiim, mengatakan penelitian modul keamanan kerja dan kesejahteraan psikologis di lingkungan kampus dilakukan dalam setahun terakhir, mengikuti tahun ajaran 2025/2026. Survei dimulai awal 2025 dan selesai pada Maret dengan jumlah responden 421 pekerja kampus.

“Mengapa survei keamanan kerja dan kesejahteraan psikologis pekerja kampus ini penting? Pekerja kampus menghadapi risiko burnout dan stres kerja akibat beban kerja tinggi,” kata Azhiim.

Selain itu, Serikat Pekerja Kampus menyoroti ancaman keselamatan hingga kekerasan seksual yang dialami pekerja kampus. Azhiim menyebut survei ini mengukur empat dimensi, yakni kesejahteraan psikologis, kesehatan dan keselamatan kerja (K3), keamanan di tempat kerja, dan keterbukaan informasi.

Untuk demografi, survei mendata nama perguruan tinggi dan program studi. Nama perguruan tinggi dianalisis lebih lanjut menggunakan model entity-relationship dengan database perguruan tinggi nasional. “Jadi, saat responden menginput nama perguruan tinggi, otomatis muncul hasil analisis, misalnya akreditasinya apa,” ucap Azhiim.

Artikel Terkait