Sekilas.co – Tepat pada 20 Oktober 2025, genap satu tahun masa pemerintahan Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka. Selama periode tersebut, stabilitas sektor keuangan nasional relatif terjaga di tengah dinamika ekonomi global.
Namun demikian, industri keuangan non-bank (IKNB) masih menghadapi sejumlah tantangan yang cukup kompleks, baik dari sisi daya beli masyarakat, penyesuaian kebijakan, hingga tekanan terhadap profitabilitas.
Tiga subsektor utama yang menjadi sorotan adalah pembiayaan (multifinance), asuransi, dan pinjaman daring (peer-to-peer/P2P lending). Ketiganya memainkan peran penting dalam menopang aktivitas ekonomi masyarakat, namun juga harus menavigasi perubahan regulasi dan tekanan pasar dalam setahun terakhir.
Berikut rangkuman kinerja masing-masing subsektor berdasarkan data Otoritas Jasa Keuangan (OJK) periode November 2024 hingga Agustus 2025.
Industri Pembiayaan (Multifinance)
Berdasarkan data OJK, rata-rata piutang pembiayaan dari November 2024 hingga Agustus 2025 tercatat sebesar Rp504,63 triliun. Nilai tertinggi terjadi pada Maret 2025, mencapai Rp510,97 triliun atau tumbuh 4,60% secara tahunan (year-on-year/YoY). Meski demikian, pertumbuhan YoY piutang pembiayaan menunjukkan kontraksi hingga 82,67% dari November 2024 ke Agustus 2025.
Kendati demikian, rasio pembiayaan bermasalah (non-performing financing/NPF) masih berada di bawah ambang batas aman. Per Agustus 2025, NPF gross tercatat 2,51%, jauh di bawah batas maksimum 5%. Sementara itu, gearing ratio perusahaan pembiayaan berada di level 2,17 kali, masih aman dari batas maksimum 10 kali.
Dari 145 perusahaan pembiayaan yang terdaftar, empat di antaranya masih belum memenuhi ketentuan ekuitas minimum Rp100 miliar sesuai aturan OJK.
Ketua Umum Asosiasi Perusahaan Pembiayaan Indonesia (APPI), Suwandi Wiratno, menilai lambatnya pertumbuhan piutang pembiayaan dipengaruhi oleh penurunan daya beli masyarakat. Banyak masyarakat menunda pembelian kendaraan, yang merupakan segmen utama pembiayaan, karena kondisi ekonomi yang belum sepenuhnya pulih.
“Sektor otomotif masih menjadi tulang punggung multifinance, sekitar 40–50% portofolionya berasal dari pembiayaan mobil dan motor. Namun permintaan turun karena masyarakat memprioritaskan kebutuhan pokok,” ujar Suwandi.
Selain itu, OJK mencatat adanya keluhan dari sejumlah perusahaan pembiayaan terkait intervensi ormas dan LSM yang melindungi debitur agar kendaraan tidak ditarik oleh leasing. OJK menegaskan tindakan semacam itu dapat mengganggu stabilitas industri pembiayaan dan menegaskan pentingnya kepatuhan terhadap kontrak hukum antara debitur dan perusahaan.
Industri Perasuransian
Sektor asuransi nasional terbagi menjadi asuransi komersial dan non-komersial. Asuransi komersial meliputi asuransi jiwa, asuransi umum, dan reasuransi, baik konvensional maupun syariah.
Selama tahun pertama pemerintahan Prabowo-Gibran, nilai premi asuransi komersial sempat mengalami tekanan pada tiga bulan pertama tahun 2025. Pada Januari 2025, premi tercatat turun 4,10% YoY menjadi Rp34,76 triliun. Namun pemulihan mulai terlihat pada April 2025, ketika premi tumbuh 3,27% YoY menjadi Rp116,44 triliun.
Per Agustus 2025, total premi asuransi komersial mencapai Rp219,52 triliun, tumbuh 0,44% YoY meski pertumbuhannya melambat. Secara rinci, premi asuransi jiwa turun 1,21% YoY menjadi Rp117,51 triliun, sedangkan premi asuransi umum dan reasuransi naik 2,42% YoY menjadi Rp102,01 triliun.
Untuk klaim asuransi komersial, terjadi penurunan konsisten sejak Mei hingga Agustus 2025. Total klaim Agustus 2025 tercatat Rp141,65 triliun, turun 5,33% YoY.
Sementara itu, asuransi non-komersial seperti Taspen, Asabri, BPJS Kesehatan, dan BPJS Ketenagakerjaan mencatat pertumbuhan positif. Total premi mencapai Rp127,19 triliun atau naik 5,71% YoY, dengan nilai klaim mencapai Rp130,61 triliun.
Hingga Agustus 2025, masih terdapat 35 perusahaan asuransi dan reasuransi yang belum memenuhi ketentuan ekuitas minimum tahap pertama sesuai POJK No.23/2023.
Dalam perkembangan lain, Asosiasi Asuransi Jiwa Indonesia (AAJI) melaporkan klaim asuransi kesehatan meningkat 3,2% YoY menjadi Rp12,2 triliun pada semester I/2025 akibat inflasi biaya medis. Sementara OJK tengah menyempurnakan aturan baru yang akan menggantikan SEOJK No.7/2025 terkait produk asuransi kesehatan, yang sedianya berlaku mulai 1 Januari 2026.
Regulasi ini mencakup penyesuaian skema co-payment menjadi risk sharing, di mana tanggungan peserta asuransi diturunkan dari 10% menjadi 5%. Selain itu, pemerintah bersama industri tengah menyiapkan produk asuransi parametrik bencana alam, yang ditargetkan rilis pada 2026 dan dapat dicairkan dalam waktu 7–14 hari setelah bencana.
Industri Pinjaman Daring (P2P Lending)
Sektor pinjaman daring (pindar) menunjukkan tren pertumbuhan yang stabil selama setahun terakhir. Berdasarkan data OJK, total nilai pinjaman atau outstanding pembiayaan periode November 2024 hingga Agustus 2025 mencapai rata-rata Rp81,05 triliun, dengan nilai tertinggi pada Agustus 2025 sebesar Rp87,61 triliun atau tumbuh 21,62% YoY.
Pertumbuhan tertinggi terjadi pada Februari 2025 sebesar 31,06% YoY, sedangkan pertumbuhan terendah tercatat pada Agustus 2025. Meski melambat, tren pertumbuhan industri ini tetap positif setiap bulan.
Indikator tingkat wanprestasi (TWP90) atau kredit macet di industri fintech lending juga terjaga baik, berada jauh di bawah batas maksimum OJK sebesar 5%. Per Agustus 2025, TWP90 tercatat 2,60%, sedikit naik dari level terendah 2,52% pada Januari 2025.
Namun, OJK mencatat 9 dari 96 penyelenggara P2P lending masih belum memenuhi ketentuan modal minimum Rp12,5 miliar sebagaimana diatur dalam POJK No.40/2024.
Sejak 2017 hingga kini, OJK telah menutup 13.229 entitas ilegal, termasuk 11.166 pinjaman online (pinjol). Sepanjang era Prabowo-Gibran, sejak awal 2025 hingga 30 September 2025, terdapat 1.556 pinjol ilegal yang berhasil dihentikan operasinya.
Salah satu kasus besar yang menyita perhatian publik adalah penangkapan dan pemulangan Adrian Gunadi, mantan Direktur Utama PT Investree Radhika Jaya, atas dugaan pengumpulan dana masyarakat senilai Rp2,7 triliun tanpa izin. Ia kini ditahan oleh Bareskrim Polri atas permintaan OJK.
Belakangan, industri fintech kembali diguncang dengan dugaan gagal bayar oleh PT Dana Syariah Indonesia. OJK memastikan pengawasan ketat terhadap perusahaan tersebut. Direktur Utama Dana Syariah, Taufiq Aljufri, mengakui bahwa penundaan pembayaran kepada lender disebabkan oleh kesulitan borrower dalam melunasi pinjaman, sehingga dana yang tersedia menjadi terbatas.





