sekilas.co – KOMISI I Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menegaskan bahwa Panglima Tentara Nasional Indonesia (TNI) tidak memiliki kewenangan dalam pengambilan keputusan struktural di kementerian atau lembaga tempat prajurit bertugas setelah beralih ke jabatan sipil. Pernyataan ini disampaikan sebagai tanggapan atas sorotan Mahkamah Konstitusi (MK) terhadap Pasal 47 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2025 tentang TNI.
Wakil Ketua Komisi I DPR, Dave Laksono, menjelaskan bahwa pembinaan yang dimaksud dalam pasal tersebut hanya mencakup aspek administratif bagi prajurit sebelum resmi beralih ke jabatan sipil. “Panglima TNI tidak memiliki kewenangan dalam pengambilan keputusan struktural di kementerian atau lembaga tempat prajurit tersebut berkarier,” ujar Dave dalam keterangan tertulis pada Sabtu, 11 Oktober 2025.
Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Suhartoyo sebelumnya mempertanyakan ketentuan dalam pasal tersebut yang dinilai memberi ruang bagi Panglima TNI untuk turut campur dalam urusan sipil. Ia menilai Pasal 47 ayat (5) bertentangan dengan ayat (2) yang mewajibkan prajurit TNI mengundurkan diri atau pensiun sebelum dapat menduduki jabatan sipil.
Suhartoyo menilai ketentuan mengenai “pembinaan karier” oleh Panglima TNI dapat menimbulkan kesan adanya kontrol militer terhadap jabatan sipil. “Ini bagaimana Panglima masih ikut campur jika syarat untuk menduduki jabatan tertentu harus mengundurkan diri atau tidak aktif lagi,” ujarnya dalam sidang di MK, Kamis, 9 Oktober 2025.
Sementara itu, Dave, selaku Wakil Ketua Panitia Kerja UU TNI pada saat itu, menegaskan bahwa prinsip supremasi sipil menjadi dasar utama dalam setiap pembahasan di Komisi I DPR. Oleh karena itu, kewajiban mengundurkan diri atau pensiun sebelum menempati jabatan sipil diatur secara tegas dalam Pasal 47 ayat (2) dan (3). Menurutnya, mekanisme uji materi di Mahkamah Konstitusi merupakan ruang yang tepat untuk menyempurnakan norma tersebut.
Komisi I, kata Dave, berkomitmen untuk menjaga kejelasan norma sekaligus konsistensi prinsip dalam pengaturan hubungan antara institusi militer dan sipil. Aturan dalam Pasal 47 disusun untuk memperkuat akuntabilitas transisi prajurit tanpa mengganggu otonomi kementerian atau lembaga sipil.
Menurut Dave, perbedaan tafsir terhadap pasal ini merupakan bagian dari dinamika demokrasi. Ia menilai bahwa proses uji materi di Mahkamah Konstitusi merupakan forum yang sehat untuk memperjelas ketentuan hukum. “Komisi I DPR RI terbuka terhadap penyempurnaan norma melalui mekanisme konstitusional yang tersedia,” ujarnya.
Sorotan Suhartoyo disampaikan dalam konteks sidang perkara uji materi UU TNI pada Kamis, 9 Oktober 2025, yang kala itu dilakukan melalui mekanisme tiga permohonan dalam satu sidang masing-masing bernomor 68, 82, dan 92/PUU-XXIII/2025. Agenda sidang pada saat itu mencakup mendengar keterangan DPR dan Presiden atau pemerintah.
Adapun Pasal 47 UU TNI berbunyi sebagai berikut:
-
Prajurit dapat menduduki jabatan pada kementerian atau lembaga yang membidangi koordinator politik dan keamanan negara, pertahanan negara termasuk dewan pertahanan nasional, kesekretariatan negara yang menangani urusan kesekretariatan presiden dan kesekretariatan militer presiden, intelijen negara, siber dan/atau sandi negara, lembaga ketahanan nasional, pencarian dan pertolongan, narkotika nasional, pengelola perbatasan, penanggulangan bencana, penanggulangan terorisme, keamanan laut, Kejaksaan Republik Indonesia, dan Mahkamah Agung.
-
Selain jabatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), prajurit dapat menduduki jabatan sipil lain setelah mengundurkan diri atau pensiun dari dinas aktif keprajuritan.
-
Prajurit yang menduduki jabatan tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan atas permintaan pimpinan kementerian/lembaga dan tunduk pada ketentuan administrasi yang berlaku.
-
Pengangkatan dan pemberhentian prajurit dalam jabatan tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sesuai kebutuhan organisasi kementerian dan lembaga.
-
Pembinaan karier prajurit yang menduduki jabatan tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Panglima TNI melalui koordinasi dengan pimpinan kementerian dan lembaga.
-
Ketentuan lebih lanjut mengenai prajurit yang menduduki jabatan tertentu pada kementerian dan lembaga sebagaimana dimaksud pada ayat (1), (3), dan (4) diatur dengan Peraturan Pemerintah.





