sekilas.co – Sidang permohonan uji materi terhadap Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2025 tentang Tentara Nasional Indonesia (UU TNI) di Mahkamah Konstitusi kembali digelar pada Kamis, 9 Oktober 2025. Sidang ini dihadiri oleh para pemohon, DPR, serta perwakilan dari pemerintah.
Sidang permohonan uji materi UU TNI yang masih bergulir ini diajukan oleh sejumlah advokat, konsultan hukum, dan mahasiswa melalui tiga perkara yang digabungkan. Sidang tersebut menggabungkan tiga perkara uji materi dengan nomor 68/PUU-XXIII/2025, 82/PUU-XXIII/2025, dan 92/PUU-XXIII/2025.
Perkara Nomor 68/PUU-XXIII/2025 diajukan oleh sekelompok advokat, konsultan hukum, dan mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Pamulang. Mereka menggugat Pasal 47 ayat (1) dan (2) UU TNI, yang mengatur penempatan prajurit aktif di jabatan sipil strategis. Pemohon menilai pasal tersebut membuka peluang penyalahgunaan kekuasaan dan bertentangan dengan prinsip supremasi sipil serta akuntabilitas.
Sementara itu, perkara Nomor 92/PUU-XXIII/2025 diajukan oleh Tri Prasetio Mumpuni, mahasiswa Universitas Singaperbangsa Karawang, yang mempersoalkan Pasal 53 ayat (4). Pasal ini memperpanjang masa pensiun perwira tinggi bintang empat hingga usia 63 tahun, dengan kemungkinan dua kali perpanjangan melalui keputusan presiden. Ketentuan ini dinilai memberi peluang penyalahgunaan wewenang oleh eksekutif.
Berikut poin-poin penting dalam sidang permohonan uji materi UU TNI kemarin:
Hakim Soroti Kontradiksi Aturan Jabatan Sipil Diisi Prajurit TNI
Ketua MK, Suhartoyo, mempertanyakan kontradiksi pengaturan dalam Pasal 47 UU TNI yang mengatur penempatan prajurit TNI di jabatan di luar struktur militer. “Bagaimana Panglima masih ikut campur jika syarat untuk menduduki jabatan tertentu harus mengundurkan diri atau tidak aktif lagi,” ujar Suhartoyo di ruang sidang MK, Kamis, 9 Oktober 2025. Ia menyebut Pasal 47 ayat 5 sebagai titik persoalan.
Dalam ketentuan itu disebutkan pembinaan karier prajurit yang menduduki jabatan tertentu di kementerian atau lembaga dilakukan oleh Panglima TNI. Hakim menilai ketentuan tersebut bertolak belakang dengan ayat sebelumnya yang mewajibkan prajurit mengundurkan diri atau pensiun sebelum menempati jabatan di luar TNI. Suhartoyo menambahkan, pertentangan di antara ayat-ayat Pasal 47 itu menimbulkan sorotan publik terkait supremasi sipil yang seolah masih berada di bawah kendali militer.
Pemerintah Klaim Aturan Jabatan Sipil oleh TNI Tidak Bertentangan
Menanggapi pertanyaan hakim, Wakil Menteri Hukum dan HAM Edward Omar Sharif Hiariej (Eddy Hiariej) menilai tidak ada pertentangan dalam pasal tersebut. “Pasal 1 dan Pasal 3 kalau dilihat tidak bertentangan, karena ada jabatan-jabatan khusus di luar struktur yang memang memerlukan pembinaan Panglima TNI,” ujar Eddy.
Eddy mencontohkan jabatan Jaksa Agung Muda Pidana Militer di Kejaksaan. Menurut dia, meski posisi itu sering menjadi perdebatan, secara doktrin hukum pidana militer memiliki karakteristik tersendiri. “Mohon maaf, kastanya sangat tinggi,” kata Eddy.
Pembelaan Pemerintah Soal Perpanjangan Usia Pensiun Prajurit TNI
Eddy menjelaskan bahwa dalil pemohon 92/PUU-XXIII/2025 mengenai perpanjangan usia pensiun tidak relevan dan tidak memiliki hubungan sebab akibat terhadap ketentuan Pasal 53 ayat 4 UU TNI.
“Ketentuan undang-undang itu hanya mengatur perpanjangan usia pensiun untuk perwira tinggi bintang 4 oleh Presiden, bukan mengatur tindakan represif yang dapat dilakukan prajurit TNI,” jelasnya.
DPR Sebut Seluruh Pasal di UU TNI Sudah Jelas
Dalam sidang, DPR melalui Ketua Komisi I DPR Utut Adianto menegaskan bahwa seluruh pasal yang digugat memiliki dasar hukum dan pembatasan yang jelas. Ia mencontohkan penambahan dua bentuk operasi militer selain perang (OMSP) dalam revisi UU TNI, yaitu penanggulangan ancaman pertahanan siber serta perlindungan dan penyelamatan warga negara di luar negeri.
“Perubahan ini menyesuaikan dengan dinamika ancaman modern, bukan memperluas kewenangan TNI secara berlebihan,” ujar Utut di sidang MK, Kamis, 9 Oktober 2025.
Kata DPR Soal TNI Boleh Terlibat dalam Perbantuan Pemerintah Daerah
Utut menyebut pasal mengenai bantuan TNI kepada pemerintah daerah sudah ada sejak UU 34 Tahun 2004. Selama ini, ketentuan tersebut tidak menimbulkan persoalan. Frasa “mengatasi masalah akibat pemogokan” dalam penjelasan pasal tidak membatasi hak konstitusional warga, melainkan menegaskan peran TNI yang terbatas dan proporsional atas permintaan pemerintah daerah.
Soal TNI Boleh Terlibat dalam Pertahanan Siber dan Jabatan Sipil
Mengenai peran TNI di ruang siber, DPR mengklaim keterlibatan militer bersifat defensif dan strategis, bukan penegakan hukum. Ketentuan ini diatur dalam Pasal 7 ayat 2 huruf B angka 15 UU TNI dan Peraturan Menteri Pertahanan Nomor 82 Tahun 2014 tentang Pertahanan Siber.
Sementara itu, pada Pasal 47 UU TNI, DPR berpendapat penempatan prajurit TNI aktif di jabatan sipil dibatasi hanya pada 14 instansi pusat dengan karakteristik tugas tertentu. Pengaturan ini sejalan dengan Pasal 19 UU Aparatur Sipil Negara (ASN) dan praktik negara demokrasi seperti AS, India, Prancis, dan Singapura. “Dengan pembatasan itu, partisipasi militer dalam jabatan sipil tetap terkendali,” jelas Utut.
DPR dan Pemerintah Kompak Minta MK Tolak Uji Materi UU TNI
Berdasarkan bantahan-bantahan tersebut, pemerintah dan DPR meminta MK menolak permohonan uji materi UU TNI. Eddy dan Utut meminta hakim menyatakan para pemohon tidak memiliki kedudukan hukum sehingga permohonan patut tidak diterima. “Sehingga permohonan pemohon tidak dapat diterima, niet ontvankelijke verklaard,” tutur keduanya.
UU TNI ini disahkan Presiden Prabowo Subianto pada 28 Maret 2025. Perubahan atas UU 34 Tahun 2004 tentang TNI tetap diteken meski sempat mendapat gelombang penolakan dari masyarakat, termasuk unjuk rasa di depan gedung DPR RI bersamaan dengan Rapat Paripurna.





