Banjir Impor Tekstil Dinilai Jadi Penyebab Tumbangnya Industri

foto/istimewa

sekilas.co – MAJELIS Rayon Korps Alumni Himpunan Mahasiswa Islam (KAHMI) Tekstil menduga banjir impor tekstil menjadi penyebab banyak pabrik tekstil gulung tikar. “Puluhan pabrik tutup karena tidak mampu bersaing dengan barang impor murah yang dijual secara dumping,” ujar Direktur Eksekutif KAHMI, Agus Riyanto, dalam keterangan tertulis, Kamis, 2 Oktober 2025.

Fenomena tutupnya pabrik tekstil terus berlanjut hingga September tahun ini. Terbaru, Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat menjatuhkan pailit terhadap PT Sejahtera Bintang Abadi Textile Tbk., yang berlokasi di Cicalengka, Majalaya, Cikancung, Bandung.

Baca juga:

Agus menilai kebangkrutan PT Sejahtera Bintang Abadi menjadi bukti buruknya kinerja Kementerian Perindustrian sebagai pembina industri. Menurutnya, Kementerian Perindustrian belum menindaklanjuti lesunya industri tekstil nasional akibat banjir impor.

Ia menduga adanya penghalangan upaya pembendungan impor oleh pejabat Kementerian Perindustrian yang diduga terlibat dalam jaringan mafia impor. Menurut Agus, kuota impor tekstil diberikan oleh Kementerian Perindustrian kepada sekitar 20 perusahaan yang dimiliki oleh tiga orang.

Agus menyampaikan bahwa pihaknya pernah mengusulkan penerapan bea masuk anti-dumping (BMAD) dan langkah pengamanan lainnya untuk membendung impor kepada Kementerian Perindustrian. Namun, menurutnya, pemerintah tidak akan menindaklanjuti usulan tersebut karena Kementerian Perindustrian selalu menolak semua mekanisme perlindungan industri kecuali berdasarkan pertimbangan teknis.

Sekretaris Jenderal Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filament Indonesia (APSyFI), Farhan Aqil Sauqi, mengamini hal tersebut. Farhan menyatakan bahwa Kementerian Perindustrian menolak kebijakan anti-dumping untuk benang filament tertentu asal Cina beberapa waktu lalu.

Menanggapi tudingan pengusaha, Kementerian Perindustrian menegaskan bahwa impor tekstil dan produk tekstil (TPT) tidak otomatis memerlukan pertimbangan teknis dari kementerian. Juru bicara Kementerian Perindustrian, Febri Hendri Antoni Arif, menjelaskan bahwa industri TPT memiliki 1.332 pos tarif dalam kode harmonized system (HS).

Dari jumlah tersebut, 941 HS atau 70,65 persen termasuk kategori larangan terbatas yang memerlukan persetujuan impor (PI) dari Kementerian Perdagangan serta pertimbangan teknis dari Kementerian Perindustrian. Sementara itu, 980 HS atau 73,57 persen wajib memiliki laporan surveyor (LS).

Berdasarkan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 8 Tahun 2024, jumlah HS yang memerlukan pertimbangan teknis dari Kementerian Perindustrian hanya 593 HS atau 44,51 persen. Menurut Febri, perubahan ini menunjukkan bahwa banjir produk TPT terjadi karena banyak kode HS tidak terkena larangan terbatas, LS, atau PI.

Febri menegaskan bahwa sejak 2017, pengaturan impor TPT selalu mengacu pada aturan resmi dan rapat koordinasi terbatas di Kementerian Koordinator Perekonomian. Pada Juli 2022, Menteri Perindustrian menerbitkan Peraturan Nomor 36 Tahun 2022 yang mengatur penerbitan PI TPT berdasarkan verifikasi kemampuan industri (VKI).

Setahun kemudian, VKI menyetujui 493 perusahaan dengan volume serat 142.644,85 ton. Untuk benang, VKI menyetujui 373.416,42 ton, atau 158,1 persen lebih besar dibanding data impor Badan Pusat Statistik (BPS) sebesar 236.145,75 ton.

Pada 2024, mekanisme penerbitan PI TPT kembali diubah, di mana persetujuan impor didasarkan pada pertimbangan teknis Kementerian Perindustrian dengan masa berlaku per tahun takwim. Dari perubahan itu, 542 perusahaan mendapat izin impor.

Pada tahun yang sama, Kementerian Perindustrian menyetujui impor serat sebanyak 23.851,52 ton, atau 19,3 persen dari total impor BPS sebesar 123.693,66 ton. Untuk benang, kementerian menyetujui 147.259,01 ton, atau 43,7 persen dari total impor BPS sebesar 336.642,40 ton.

Artikel Terkait