sekilas.co – Kebijakan perpajakan selalu menjadi topik penting bagi dunia usaha, terutama Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) yang menjadi tulang punggung perekonomian Indonesia.
Menteri Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) Maman Abdurrahman menegaskan bahwa pemerintah tidak akan memungut pajak dari usaha kecil. Penegasan ini bukan sekadar kebijakan fiskal, tetapi juga afirmasi dukungan nyata terhadap UMKM, yang selama ini menghadapi berbagai tantangan, baik dalam hal akses permodalan, birokrasi, maupun tekanan pasar.
Pernyataan ini sekaligus menghapus kekhawatiran sebagian pelaku usaha kecil yang merasa terbebani kewajiban perpajakan, padahal usaha mereka masih dalam tahap merintis. Dengan kata lain, negara hadir untuk melindungi dan mendorong pertumbuhan UMKM agar lebih berdaya saing, bukan menekan mereka dengan pajak di awal perjalanan bisnis.
UMKM di Indonesia telah lama menjadi tulang punggung perekonomian nasional. Berdasarkan data Kementerian Koperasi dan UKM tahun 2024, jumlah UMKM mencapai lebih dari 64,2 juta unit usaha, atau sekitar 99,99 persen dari total unit usaha di Indonesia.
Dari jumlah tersebut, sektor UMKM menyerap tenaga kerja lebih dari 123 juta orang, atau sekitar 97 persen tenaga kerja nasional, sehingga menjadi penopang utama dalam mengurangi angka pengangguran. Kontribusi UMKM terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) juga signifikan, mencapai 61,07 persen pada 2023, menunjukkan kapasitasnya dalam menciptakan nilai tambah ekonomi dan menjaga stabilitas sosial-ekonomi, terutama di tengah krisis global.
Meski demikian, kekuatan UMKM belum sepenuhnya termanfaatkan. Kendala klasik masih muncul, mulai dari keterbatasan akses permodalan hingga hambatan struktural. Data Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menunjukkan bahwa pada 2023 porsi kredit perbankan kepada UMKM hanya sekitar 21,26 persen dari total kredit nasional, jauh dari target pemerintah sebesar 30 persen pada 2024.
Selain itu, rendahnya literasi keuangan dan digital menjadi tantangan serius. Survei Bank Indonesia mencatat bahwa baru sekitar 24,9 persen UMKM memanfaatkan platform digital untuk pemasaran produk, padahal digitalisasi terbukti meningkatkan efisiensi dan jangkauan pasar.
Kondisi ini menunjukkan bahwa selain dukungan pembiayaan, UMKM juga membutuhkan intervensi kebijakan yang lebih komprehensif untuk mengatasi hambatan struktural.
Dalam konteks ini, kebijakan pemerintah untuk membebaskan pajak usaha kecil menjadi langkah afirmatif yang strategis. UMKM dengan omzet di bawah Rp500 juta per tahun saat ini tidak dikenai Pajak Penghasilan (PPh) Final, sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 23 Tahun 2018.
Kebijakan ini memberikan ruang bernapas bagi pelaku usaha kecil agar dapat fokus mengembangkan usaha tanpa terbebani kewajiban fiskal di tahap awal. Secara makro, insentif ini diperkirakan mendorong daya tahan usaha mikro, memperluas basis formalitas, dan meningkatkan produktivitas.
Hal ini relevan mengingat pengalaman selama pandemi COVID-19, ketika lebih dari 30 juta UMKM mengalami penurunan omzet signifikan. Dengan demikian, penghapusan pajak bagi usaha kecil bukan sekadar keringanan administrasi, melainkan investasi jangka panjang untuk memperkuat daya saing ekonomi nasional.
Pajak Usaha Kecil
Perjalanan kebijakan perpajakan UMKM di Indonesia tidak lepas dari dinamika ekonomi dan kebutuhan negara memperluas basis penerimaan pajak. Sebelum 2000-an, sektor UMKM praktis belum tersentuh regulasi perpajakan memadai. Mayoritas pelaku usaha mikro berada di sektor informal tanpa kewajiban membayar pajak, tetapi juga tidak memiliki akses pembiayaan formal maupun perlindungan sistem keuangan negara, sehingga UMKM ibarat “ekonomi bayangan” besar yang belum terintegrasi secara fiskal.
Upaya sistematis mulai terlihat dengan Peraturan Pemerintah (PP) No. 46 Tahun 2013, yang menetapkan PPh Final 1 persen dari omzet bagi UMKM dengan peredaran bruto tertentu. Tujuannya adalah menyederhanakan administrasi sekaligus mendorong kepatuhan pajak.
Data Direktorat Jenderal Pajak (DJP) mencatat bahwa sejak aturan ini, jumlah Wajib Pajak (WP) UMKM meningkat signifikan: dari 1,3 juta WP pada 2013 menjadi 2,6 juta WP pada 2015.
Namun, sistem berbasis omzet ini dikritik karena membebani usaha kecil dengan margin laba tipis; UMKM dengan omzet besar tetapi keuntungan kecil tetap terkena pajak yang sama. Sebagai respons, pemerintah mengeluarkan PP No. 23 Tahun 2018, menurunkan tarif PPh Final dari 1 persen menjadi 0,5 persen, sekaligus memberi batas waktu untuk mendorong UMKM naik kelas.
Kebijakan ini mendapat sambutan positif; jumlah WP UMKM tercatat 2,9 juta pada 2019, dan meningkat menjadi 3,5 juta pada 2020, meski ekonomi sempat terguncang pandemi. Saat pandemi, lebih dari 30 juta UMKM mengalami penurunan omzet signifikan, sehingga pemerintah menanggung PPh Final UMKM, berhasil menjaga keberlangsungan jutaan usaha kecil.
Hingga 2024, data DJP menunjukkan lebih dari 4,2 juta WP UMKM aktif, sebagian besar dari segmen usaha mikro dan kecil dengan omzet di bawah Rp500 juta per tahun. Dalam konteks ini, pernyataan Menteri Koperasi dan UKM bahwa usaha kecil tidak dipungut pajak menjadi sangat relevan.
Keberpihakan
Kebijakan afirmatif ini bukan sekadar keringanan fiskal, tetapi bentuk keberpihakan nyata pada sektor yang rentan. Negara memahami UMKM membutuhkan ruang tumbuh dan dukungan, bukan beban administrasi tambahan, agar kelak mampu naik kelas dan berkontribusi lebih besar terhadap penerimaan negara.
Afirmasi penghapusan pajak usaha kecil memiliki makna lebih dari kebijakan fiskal; ini adalah perlindungan bagi pelaku UMKM, terutama tahap awal. Dengan tidak adanya beban pajak, pengusaha kecil bisa fokus memperkuat modal kerja, memperluas jaringan pemasaran, dan meningkatkan kapasitas produksi.
Kebijakan ini juga mendorong transformasi UMKM dari usaha subsisten ke usaha produktif yang lebih mapan. Banyak usaha mikro di sektor fashion dan kerajinan, yang sebelumnya beroperasi skala rumah tangga, kini berani ikut pameran atau menjangkau pasar digital. Biaya operasional berkurang karena pembebasan pajak, sehingga mereka lebih percaya diri.
Hal ini menciptakan multiplier effect: semakin besar omzet, semakin cepat usaha naik kelas, dan pada akhirnya menjadi kontributor pajak signifikan.
Kebijakan afirmatif ini menunjukkan keberanian pemerintah menyeimbangkan kepentingan fiskal dengan keberlanjutan ekonomi rakyat. Dalam jangka pendek, negara mungkin kehilangan potensi penerimaan, namun jangka panjang, ini adalah investasi sosial-ekonomi yang memperluas basis pajak.
Selama pandemi COVID-19, ketika pemerintah menanggung PPh Final UMKM 0,5 persen, negara mengorbankan sekitar Rp2,4 triliun pada 2020. Namun, kebijakan ini menjaga 2,8 juta WP UMKM tetap aktif, memberi mereka peluang tumbuh dan berkontribusi lebih besar pasca-pulih ekonomi.
Akhirnya, afirmasi kebijakan ini membuktikan bahwa pembangunan ekonomi inklusif tidak hanya soal penerimaan fiskal jangka pendek. Pemerintah menempatkan UMKM sebagai mitra strategis dalam agenda pembangunan, bukan sekadar objek pajak.
Dr. M. Lucky Akbar adalah Kepala Kantor Pengolahan Data dan Dokumen Perpajakan Jambi, Kementerian Keuangan





