Kuliner Peninggalan Belanda sebagai Penggerak UMKM

foto/istimewa

sekilas.co – Penjajahan Belanda di Indonesia tidak hanya meninggalkan warisan pada arsitektur dan bahasa, tetapi juga pada dunia kuliner.

Tradisi kuliner Belanda berbaur kuat dengan budaya lokal, hingga menjadi bagian yang sulit dipisahkan dari identitas makanan sehari-hari masyarakat kita.

Baca juga:

Berbagai hidangan yang awalnya tersaji di meja makan kaum kolonial perlahan bertransformasi: bumbu dan bahan lokal digunakan, teknik memasak disesuaikan, serta cita rasa diubah agar sesuai dengan lidah orang Indonesia.

Jika ditelusuri asal-usulnya, banyak makanan yang kini dianggap “asli Indonesia” sejatinya berakar dari tradisi kuliner Belanda. Hal itu dapat ditemukan di A.ra.sa Restaurant & Bar, Ascott Menteng Jakarta.

Restoran yang baru hadir di kawasan Menteng ini sengaja menghadirkan kembali menu-menu khas era kolonial Belanda. Pemilihan tersebut bukan tanpa alasan, mengingat sejak awal abad ke-20, Menteng dikenal sebagai kawasan yang sarat nuansa kolonial baik dari tata kota, arsitektur bangunan, hingga gaya hidup para penghuninya.

Bebek Madura

Banyak orang mungkin mengira Bebek Madura adalah sajian asli Indonesia. Namun, hidangan yang kini kerap dijumpai di berbagai ruas jalan ini sejatinya merupakan hasil perkembangan kuliner sejak awal abad ke-20, dengan teknik memasak yang mendapat pengaruh dari budaya kolonial Belanda.

Pada mulanya, bebek hanya diolah secara sederhana, seperti dibakar atau direbus. Namun pada masa kolonial, menu berbahan bebek mulai diproses dengan teknik pengasapan selama 18 jam. Cara ini menghasilkan tekstur daging yang empuk, tampilan yang menggoda, dan aroma yang sama sekali tidak amis. Warna kulitnya tampak cokelat mengilap dengan daging bergradasi kemerahan, membuatnya semakin menggugah selera.

Seiring perjalanan waktu serta hadirnya berbagai pengaruh budaya di Jakarta termasuk dari Madura teknik memasak dan racikan bumbunya pun semakin beragam.

Dari inspirasi tersebut, lahirlah Smoked Duck Madura kreasi Executive Chef Alfan, yang menggabungkan kekayaan bumbu khas Madura dengan sentuhan teknik pengolahan ala Belanda.

Beef Biefstuk

Salah satu menu andalan lainnya adalah Beef Biefstuk, atau yang lebih akrab dikenal masyarakat lokal sebagai bistik daging. Hidangan ini merupakan hasil asimilasi antara kuliner Barat dan cita rasa Indonesia.

Istilah bistik sendiri berasal dari serapan kata beef steak atau daging sapi. Masuknya steak ke Indonesia erat kaitannya dengan pengaruh kolonial. Untuk menghadirkan rasa yang lebih lokal namun tetap terasa elegan, Chef Alfan menggunakan daging sapi pilihan dari Jawa Barat, sementara sausnya dibuat dengan memanfaatkan pala yang diperoleh langsung dari pasar tradisional di kawasan Menteng.

Berbeda dengan banyak restoran yang mengandalkan bahan impor, Chef Alfan dan tim justru mengutamakan bahan dari ekosistem lokal. Menurutnya, hidangan yang berkualitas lahir dari kedekatan dengan tanah serta orang-orang yang merawatnya.

“Oke, kebanyakan konsep kuliner kita memang mendapat pengaruh dari Belanda. Tapi kita lakukan elevating dalam metode maupun pemilihan bahan. Bahan-bahannya tetap kita ambil dari local ground. Jadi kita dukung UMKM di sini dan berkomitmen pada keberlanjutan di sekitar area kita,” ungkap Chef yang bernama lengkap Alfantra Medantara itu.

Selain Beef Biefstuk, tersedia pula menu lain seperti Pan Roasted Salmon Trout, Menteng Fried Rice, hingga Semur Bonero semuanya menggunakan bahan yang dipasok dari berbagai daerah di Indonesia.

Salmon yang biasanya identik dengan perairan Norwegia, kini diolah bersama vendor lokal dari Jawa Tengah. Burrata cheese untuk melengkapi salad hidroponik dibuat secara swadaya menggunakan susu segar dari Lembang, Jawa Barat. Sementara untuk menu kakap merah, Chef dengan pengalaman lebih dari 15 tahun di dunia kuliner ini memilih hasil tangkapan langsung dari perairan Jimbaran, Bali.

“Autentisitas tetap kami jaga, namun teknik memasaknya kami kembangkan. Fusion hanya ada pada metode pengolahan, sementara semua bahan 100% berasal dari vendor lokal. Dengan begitu, kami sekaligus mendukung UMKM,” jelas Chef Alfan.

Pendekatan ini bukan sekadar inovasi di bidang kuliner, melainkan juga menjadi sarana untuk menghidupkan kembali UMKM sebagai penopang utama bahan baku. Hal tersebut sejalan dengan pernyataan Menteri UMKM, Maman Abdurrahman, yang menegaskan bahwa sektor makanan dan minuman merupakan salah satu bidang UMKM yang tengah berkembang pesat sekaligus berkelanjutan.

Menurutnya, semakin banyak anak muda yang tertarik terjun sebagai pengusaha di sektor ini karena peluangnya terbuka lebar, baik dalam menjaga keberlanjutan maupun menciptakan lapangan kerja baru.

“Ingat, memulai usaha dan menjadi pengusaha membutuhkan kekuatan serta keberanian, karena pasti ada pergeseran dari zona nyaman menuju zona yang tidak nyaman. Kalau pekerja itu jelas, bekerja lalu menerima gaji tetap. Tapi kalau menjadi pengusaha, justru tantangannya adalah menciptakan lapangan kerja,” ujar Maman.

Apalagi, pemerintah juga memberikan dukungan berupa insentif perpajakan. UMKM dengan omzet hingga Rp4,8 miliar per tahun dikenakan tarif PPh final hanya 0,5 persen. Sedangkan usaha dengan omzet di bawah Rp500 juta, tarif pajaknya bahkan nol persen. Kebijakan ini memberi ruang bagi pelaku usaha untuk berkembang tanpa terbebani kewajiban pajak yang memberatkan.

Berdasarkan Sensus Penduduk 2020 Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah generasi Z (lahir 1997–2012) mencapai 75,49 juta jiwa atau sekitar 27,94 persen dari populasi Indonesia yang berjumlah 270,2 juta orang.

Bertambahnya generasi muda yang terjun sebagai pelaku UMKM akan memberikan efek berganda, mulai dari peningkatan kontribusi terhadap PDB, penyerapan tenaga kerja, hingga memperkuat daya saing UMKM lokal di tingkat nasional maupun global.

UMKM sendiri sudah lama menjadi tulang punggung perekonomian Indonesia. Tercatat lebih dari 57 juta unit UMKM menyumbang sekitar 60 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) nasional. Angka ini menegaskan besarnya peran UMKM dalam menjaga ketahanan ekonomi bangsa.

Kontribusi besar tersebut salah satunya diperkuat melalui keberpihakan pelaku industri, termasuk di sektor kuliner. Dengan menyajikan menu berkelas internasional berbahan lokal, upaya ini menunjukkan bahwa kuliner bisa menjadi medium untuk mendukung UMKM sekaligus mendorong pertumbuhan ekonomi nasional.

Artikel Terkait