Sekilas.co – Laut dan gunung, atau mar i muntanya, menjadi filosofi utama yang dihadirkan restoran Costa di Jakarta.
Konsep ini sejatinya bukan hal baru, melainkan terinspirasi dari tradisi kuliner Katalonia, Spanyol, yang memadukan hasil laut dengan daging dalam sajian menu.
“Sekitar 80 persen bahan yang digunakan adalah seafood, tapi dimasak dengan animal fat,” ujar Chef Ryan Theja di Jakarta, Selasa (23/9).
Resmi dibuka pada Februari 2025, restoran ini mengusung kekayaan budaya kuliner Spanyol yang mengedepankan kebersamaan, selaras dengan tradisi makan di Indonesia. Porsi hidangan pun disajikan besar sehingga cocok disantap bersama-sama.
Costa hadir sebagai pendatang baru di Jalan Gunawarman, Jakarta Selatan, kawasan yang dipenuhi kafe dan restoran dengan nuansa Prancis hingga Jepang. Saat memasuki ruangan, pengunjung bisa memilih area sesuai suasana hati, dengan kapasitas total mencapai 84 orang.
Tersedia sofa empuk untuk berkumpul bersama teman, kolega, atau keluarga. Ada pula meja dan kursi dekat dapur agar tamu dapat menyaksikan langsung koki serta staf menyiapkan hidangan, sejalan dengan konsep dapur terbuka yang diusung.
Tak ada sekat, hanya meja-meja khusus untuk menyiapkan bahan dan mempercantik sajian sebelum dibawa ke tamu.
Pengunjung yang ingin sekadar menikmati camilan sambil minum bisa duduk di area bar, sementara area luar dihiasi tanaman untuk suasana lebih santai. Bagi yang membutuhkan privasi, tersedia ruang khusus di lantai dua.
Soal bahan baku, Ryan mendapatkannya dari berbagai sumber sesuai kebutuhan. Prinsip utamanya sederhana: semua bahan harus berkualitas. Jika ada yang terbaik dari pemasok lokal, ia gunakan. Namun bila kualitas hanya bisa diperoleh dari luar negeri, ia tak ragu mendatangkannya dari sana.
Sebagai contoh, kentang andalannya berasal dari Brastagi, sementara aneka sayuran dipasok dari sejumlah kota di Jawa Barat. Untuk santapan siang itu, kami menikmati udang impor dari Argentina, ikan halibut asal Alaska, serta tuna sirip biru dari Bali.
Bahkan urusan garam pun tak sembarangan. Ia memilih garam organik bertekstur kasar yang diproduksi petani di Desa Les, Bali, yang juga memiliki keterkaitan dengan Yudi, seorang pemangku adat sekaligus chef.
Sambil berbincang dan memotong tuna Bali, Ryan kemudian kembali berkonsentrasi menyiapkan hidangan makan siang bersama timnya.
Seorang staf tampak teliti menyusun lapisan demi lapisan canape, sementara yang lain dengan cekatan menambahkan hiasan pada hidangan pembuka Steak Tartare. Tumpukan hashbrown, habanero, dan potongan tuna seukuran sekali gigitan diberi garnish merah yang serasi dengan warna tuna. Hashbrown yang renyah berpadu lembut dengan daging tuna tanpa jejak amis, sementara sensasi pedas habanero menyempurnakan cita rasa dalam setiap gigitan.
Masih ada dua canape lain yang disajikan. Pertama, Crudo Tartlette, berupa tartlet tipis yang berfungsi sebagai “mangkuk”, berisi telur ikan salmon berukuran besar, acar rumput laut, serta sedikit parutan kulit lemon. Hidangan ini menghadirkan permainan tekstur: renyah tartlet, lembutnya telur salmon yang meletup di mulut, serta kesegaran lemon yang memikat.
Terakhir, ada Papuan Mud Crab yang dipadukan dengan carrot rice frito dan banana pepper. Hidangan ini memberikan sentuhan pedas ringan yang tidak terlalu menonjol, namun menambah kedalaman rasa.
Seorang pramusaji kembali menghampiri meja, kali ini membawakan roti hangat yang dipanggang di perapian. Bagian atasnya diberi hiasan tomat kering berukuran besar. Sebagai pendamping, tersedia anchovy butter untuk dijadikan cocolan.
Roti tersebut juga disajikan bersama sepiring Calamares al ajillo, yakni cumi-cumi dengan saus tinta dan cabai kashmir. Bumbunya terasa mantap, terlebih ketika dipadukan dengan tekstur roti yang lembut. Untuk cuminya sendiri, sama sekali tidak alot.
Hidangan utama yang lebih berat kemudian disajikan. Kali ini berupa seporsi nasi khas Spanyol bernama Arroz Gambas. Sajian ini menggunakan beras khusus asal Spanyol yang mampu menyerap dengan baik sofrito bumbu dasar berupa paprika, tomat, dan cabai serta kaldu hasil laut.
Di bagian atasnya, tampak potongan udang menghiasi permukaan. Staf restoran pun datang ke tiap meja untuk membantu mengaduk nasi sekaligus memisahkan kepala udang agar lebih mudah disantap.
Aroma dan cita rasa udang terasa sangat kuat. Bagi yang tidak menyukai wangi udang mungkin akan menganggapnya terlalu dominan, namun bagi pencinta hidangan laut, nasi udang ini benar-benar memuaskan.
Hidangan berikutnya berupa semangkuk salad dengan sayuran hijau segar yang diberi dressing dijon, ditambah asupan protein dari Farce Chicken dan Alaskan Halibut. Dada ayamnya empuk, semakin lezat saat disantap bersama jamur moril. Saus berbahan hati ayam memberi sentuhan gurih yang khas.
Sementara itu, ikan halibut dimasak dengan tekstur lembut dan disajikan bersama saus oyster aioli yang creamy. Rasa saus tersebut dipadukan dengan tomat heirloom yang memberi kesegaran.
Meski perut mulai terasa kenyang, tetap ada ruang untuk hidangan penutup. Setiap tamu disajikan fromage ice cream, yakni es krim berbahan dasar keju.
Setelah itu hadir sepiring mousse cokelat berukuran cukup besar, disajikan bersama minyak zaitun serta taburan garam khas yang didatangkan dari Pulau Dewata.
“Coba nikmati es krimnya lebih dulu, baru setelah itu cokelatnya,” ujar sang pramusaji memberi saran.
Kami pun mengikuti anjurannya lagipula sulit menolak es krim keju yang begitu menggoda. Piring segera kosong, lalu kami lanjut saling berbagi mousse cokelat.
Pastikan tak melewatkan perpaduan minyak zaitun dan serpihan garam, karena justru itulah yang membuat rasa manis-pahit cokelat jadi terasa spesial. Satu sendok kecil abinao chocolate langsung membuat kepala mengangguk puas dan senyum merekah. Harmoni es krim dan cokelat lembut ini menjadi penutup sempurna dari santap siang ala Spanyol tersebut.





