sekilas.co – Ekonom menilai tingginya nilai plafon kredit yang belum dicairkan oleh nasabah perbankan atau undisbursed loan menjadi sinyal kuat bahwa dunia usaha belum sepenuhnya yakin untuk melakukan ekspansi.
Ekonom Universitas Andalas, Syafruddin Karimi, menilai bahwa dalam kondisi tersebut, strategi mendorong likuiditas semata tidak cukup untuk menggerakkan investasi.
“Perbankan sebenarnya sudah membuka ruang pembiayaan, komite kredit juga telah menyetujui banyak plafon. Namun, pengusaha masih menunda realisasi karena belum yakin penjualan akan tumbuh sebanding dengan tambahan beban utang yang harus dibayar,” ujar Syafruddin saat dihubungi Bloomberg Technoz, Kamis (18/12/2025).
Menurut dia, kondisi ini menunjukkan bahwa upaya menggelontorkan likuiditas ke perbankan tidak otomatis mendorong investasi apabila pemerintah belum mampu menciptakan kepastian permintaan. Kepastian tersebut, kata dia, dapat dibangun melalui belanja publik yang berkualitas, kelancaran transfer ke daerah, percepatan proyek infrastruktur, serta penyederhanaan regulasi.
Berdasarkan data Bank Indonesia (BI), nilai undisbursed loan hingga November 2025 tercatat mencapai Rp2.509,4 triliun atau setara 23,18 persen dari total plafon kredit yang tersedia. Syafruddin menilai kondisi tersebut mencerminkan kehati-hatian dunia usaha terhadap prospek perekonomian ke depan yang belum sepenuhnya meyakinkan.
Situasi ini, lanjutnya, secara otomatis melemahkan permintaan kredit karena banyak perusahaan memilih menahan penarikan fasilitas kredit yang sebenarnya telah disetujui oleh perbankan. Dunia usaha masih menunggu sinyal yang lebih kuat serta keyakinan bahwa pasar benar-benar siap menyerap tambahan produksi.
“Pelaku usaha mempertimbangkan biaya dana, risiko permintaan, volatilitas harga input, serta ketidakpastian regulasi sebagai kombinasi yang berisiko jika ekspansi dilakukan terlalu agresif,” ujarnya.
Pandangan serupa disampaikan Head of Macroeconomic & Financial Market Research Permata Bank, Faisal Rachman. Menurutnya, tingginya undisbursed loan mencerminkan lemahnya permintaan kredit akibat sikap wait and see dari dunia usaha.
“Selain itu, terdapat keterbatasan penyaluran kredit yang sesuai dengan profil risiko perbankan, sehingga bank juga cenderung bersikap lebih berhati-hati,” kata Faisal.
Meski demikian, ia menilai dunia usaha mulai melihat peluang ekspansi, namun masih menunggu momentum yang tepat. Hal ini juga dipengaruhi oleh sejumlah aturan dan regulasi di Indonesia yang dinilai kerap berubah cepat, sehingga menahan pelaku usaha untuk melakukan ekspansi secara agresif.
Sebelumnya, Gubernur BI Perry Warjiyo menjelaskan bahwa permintaan kredit masih terindikasi belum kuat. Hal tersebut dipengaruhi oleh perilaku wait and see pelaku usaha, optimalisasi pembiayaan internal korporasi, serta penurunan suku bunga kredit yang berlangsung relatif lambat.
“Peran kredit perbankan dalam mendorong pertumbuhan ekonomi perlu terus ditingkatkan,” ujar Perry dalam Konferensi Pers Hasil Rapat Dewan Gubernur (RDG) BI, Rabu (17/12/2025).
Data BI menunjukkan kinerja kredit perbankan pada November 2025 tumbuh 7,74 persen secara tahunan (year-on-year/yoy), naik tipis dibandingkan pertumbuhan bulan sebelumnya sebesar 7,36 persen (yoy).
Menurut Perry, minat penyaluran kredit perbankan secara umum masih cukup baik, tercermin dari persyaratan pemberian kredit (lending requirement) yang semakin longgar. Namun, pelonggaran tersebut tidak terjadi pada segmen kredit konsumsi dan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) akibat meningkatnya risiko kredit di kedua segmen tersebut.
“Kondisi ini memengaruhi pertumbuhan kredit UMKM pada November 2025 yang tercatat terkontraksi sebesar 0,64 persen (yoy),” kata Perry.
Bank Indonesia memperkirakan pertumbuhan kredit sepanjang 2025 berada pada batas bawah kisaran 8–11 persen (yoy) dan akan meningkat pada 2026.
Dari sisi penawaran, kapasitas pembiayaan perbankan dinilai tetap memadai. Hal ini ditopang oleh rasio Alat Likuid terhadap Dana Pihak Ketiga (AL/DPK) yang meningkat menjadi 29,67 persen, serta pertumbuhan Dana Pihak Ketiga (DPK) sebesar 12,03 persen (yoy) pada November 2025.
Perkembangan tersebut juga didorong oleh ekspansi likuiditas moneter, pelonggaran Kebijakan Insentif Makroprudensial (KLM) BI, serta ekspansi keuangan pemerintah, termasuk penempatan dana pemerintah di sejumlah bank besar.





