sekilas.co – Puluhan orang yang tergabung dalam Koalisi Masyarakat Sipil Aceh terlihat menggelar aksi di depan Masjid Raya Baiturrahman, Banda Aceh, pada Kamis (18/12/2025). Mereka membawa spanduk dan mengibarkan bendera putih sebagai bentuk protes. Dalam spanduk tersebut tertulis sejumlah pesan yang ditujukan kepada Presiden Prabowo Subianto, di antaranya “Firaun kok minta tongkat”, “Rakyat dimangsa waham Prabowo”, hingga “Tetapkan status darurat bencana nasional”.
Pengibaran bendera putih dimaknai sebagai simbol bahwa masyarakat Aceh membutuhkan bantuan dari pihak luar dalam penanganan bencana. Massa aksi menilai dampak banjir yang terjadi pada akhir November 2025 jauh lebih dahsyat dibandingkan bencana tsunami 2004. Mereka memprotes kebijakan Presiden Prabowo Subianto yang hingga kini belum menetapkan status bencana nasional.
“Presiden hari ini benar-benar mengabaikan apa yang terjadi di Aceh, Sumbar, dan Sumut. Mereka datang hanya melihat lalu pulang. Berbicara ke media sesuka hati, termasuk dalam penanggulangan bencana. Setiap kali presiden atau wapres datang, barulah tenda pengungsi dipasang,” ujar salah satu demonstran, dikutip dari video yang diunggah akun LBH Aceh, Jumat (19/12/2025).
Ia menambahkan, sikap tersebut dinilai sebagai bentuk pelecehan terhadap para korban. “Ini tindakan kurang ajar. Mereka seolah mengolok-olok dan menghina kami sebagai korban, apalagi jumlah korban meninggal hingga kini sudah mencapai ribuan,” lanjutnya.
Penanganan banjir saat ini juga diakui masih sangat buruk. Salah satu demonstran menyebutkan bahwa bayi-bayi di pengungsian terpaksa diberi mi instan karena ketiadaan makanan khusus bayi.
Di sisi lain, di wilayah yang tidak terdampak banjir, harga kebutuhan pokok melonjak tajam. Akses telekomunikasi terputus, jaringan listrik belum sepenuhnya pulih, dan bahan bakar minyak sulit diperoleh. “Namun seolah-olah kondisi Aceh, Sumut, dan Sumbar baik-baik saja. Padahal, kondisi itu hanya ada di kepala Prabowo,” teriak salah satu peserta aksi.
1. Bendera putih simbol kegagalan negara menangani bencana
Koordinator aksi, Rahmad Maulidin, menjelaskan bahwa pengibaran bendera putih bukanlah tanda menyerah. “Bendera putih kami kibarkan sebagai simbol bahwa negara telah gagal. Negara tidak sanggup menangani banjir dan longsor di Sumatra,” ujarnya.
Menurut Rahmad, pemerintah justru menolak bantuan internasional dengan alasan masih mampu menangani bencana. Padahal, hingga kini hanya sebagian kecil warga terdampak yang bisa kembali ke rumah karena banyak rumah tertimbun lumpur.
Karena itu, Koalisi Masyarakat Sipil Aceh mendesak Presiden Prabowo menetapkan banjir di Sumatra sebagai bencana nasional. “Dengan status tersebut, presiden dapat menggerakkan seluruh alat negara, kementerian, lembaga, serta melakukan refocusing anggaran APBN untuk penanganan bencana,” katanya.
2. Koalisi desak pemerintah buka pintu bantuan internasional
Rahmad juga menegaskan bahwa pemerintah daerah di Aceh, Sumatra Barat, dan Sumatra Utara sudah tidak lagi mampu mengatasi dampak banjir dan longsor. Oleh karena itu, penetapan status bencana nasional dinilai tidak bisa ditawar.
“Pemerintah harus segera membuka pintu bantuan dari dunia internasional,” ujarnya.
Ia mengutip data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) per 18 Desember 2025 yang mencatat banjir dan longsor melanda 52 kabupaten/kota. Jumlah korban meninggal dunia mencapai 1.059 orang, sekitar 7.000 orang mengalami luka-luka, dan 192 orang masih dinyatakan hilang.
Selain itu, sebanyak 147.256 rumah rusak, 1.600 fasilitas umum terdampak, 967 fasilitas pendidikan, 145 jembatan, 434 rumah ibadah, 290 gedung perkantoran, serta 219 fasilitas kesehatan mengalami kerusakan.
Menurut Rahmad, pemerintah harus hadir melalui kebijakan konkret, bukan sekadar mengunjungi lokasi pengungsian dan menyampaikan pernyataan seolah kondisi korban tidak membutuhkan perhatian serius.
3. Desakan proses hukum pelaku perusakan lingkungan
Koalisi sipil juga mendesak aparat penegak hukum memproses perusahaan-perusahaan perusak lingkungan yang diduga menjadi penyebab banjir dan longsor di Sumatra. Mereka menilai bencana ini bukan semata-mata akibat faktor alam, melainkan juga dipicu deforestasi, baik yang legal maupun ilegal.
“Kami meminta aparat penegak hukum memproses perusahaan-perusahaan tersebut dan menuntut pertanggungjawaban mereka,” kata Rahmad.
Sejauh ini, Presiden Prabowo Subianto telah menginstruksikan Menteri Kehutanan Raja Juli Antoni untuk memeriksa PT Toba Pulp Lestari Tbk, yang dituding sebagai salah satu penyebab banjir di Sumatra.
“Presiden secara khusus memerintahkan saya untuk melakukan audit dan evaluasi total terhadap PT Toba Pulp Lestari,” ujar Raja Juli Antoni di Istana Kepresidenan, Senin (15/12/2025).
Dalam waktu dekat, Kementerian Kehutanan akan menugaskan Wakil Menteri Kehutanan Rohmat Marzuki untuk menindaklanjuti arahan tersebut. Hasil audit dijanjikan akan diumumkan kepada publik.
“Nanti, Insya Allah, apabila sudah ada hasilnya, akan kami sampaikan kepada publik, apakah izinnya dicabut atau dilakukan rasionalisasi terhadap PBPH yang mereka kuasai dalam beberapa tahun terakhir,” tutup Raja.





