Perbaiki Kerusakan Hutan, Perusahaan Wajib Diaudit dan Prioritaskan Restorasi

foto/istimewa

sekilas.co – Pakar lingkungan dari Universitas Indonesia (UI), Mahawan Karuniasa, menilai bahwa pemerintah perlu memperkuat pengawasan terhadap kebijakan-kebijakan lingkungan.

Salah satu langkahnya adalah menghentikan praktik pembalakan hutan secara liar (illegal logging) serta melakukan audit terhadap perusahaan-perusahaan yang terlibat dalam pembabatan, baik yang berizin maupun yang tidak. Selain itu, pemerintah juga harus melakukan pemulihan alam melalui upaya restorasi.

Baca juga:

“Mengaudit kinerja perusahaan, khususnya yang bergerak di sektor kehutanan mulai dari izin-izin kehutanan hingga pelaksanaan di lapangan itu harus dilakukan untuk memastikan mereka mematuhi aturan yang berlaku. Karena itu, pemerintah saat ini harus melakukan langkah sebaliknya, yaitu fokus pada restorasi dan pelestarian,” ujarnya dalam keterangan tertulis, Sabtu (6/12/2025).

1. Illegal logging terjadi sejak era Orde Baru

Mahawan juga menegaskan bahwa praktik illegal logging sudah berlangsung sejak puluhan tahun lalu, tepatnya sejak masa Orde Baru di bawah Presiden ke-2 Soeharto. Ia menjelaskan bahwa izin pembalakan hutan kerap dijual kepada pihak-pihak swasta yang tidak bertanggung jawab, sehingga aktivitas pembalakan liar terus terjadi tanpa pengawasan memadai dari otoritas berwenang.

“Memang begitu kenyataannya, ada praktik korupsi sumber daya alam yang berlangsung masif sejak era Orde Baru,” katanya.

2. Pemerintah era Prabowo tidak sepenuhnya dapat dipersalahkan

Menurut Mahawan, pemerintah di bawah Presiden Prabowo Subianto tidak bisa disalahkan sepenuhnya atas kondisi kerusakan lingkungan yang kini disebut sebagai salah satu penyebab bencana di Sumatra.

Ia menilai bahwa Menteri Kehutanan, Raja Juli Antoni, juga tidak bisa langsung dianggap bertanggung jawab penuh, mengingat ia baru menjabat sebagai Menhut sejak tahun lalu.

“Terkait siapa yang bertanggung jawab, menteri yang sekarang (Raja Juli) tidak bisa dinilai begitu saja. Karena beliau baru ditunjuk, baru mulai bekerja,” katanya.

Mahawan menambahkan bahwa tanggung jawab atas kerusakan lingkungan memang berada pada pemerintah, tetapi bukan hanya pemerintah saja melainkan juga pihak swasta dan masyarakat.

3. DPR menyebut Menhut Raja Juli hanya ‘kebagian cuci piring’

Sebelumnya, Anggota Komisi IV DPR RI, Firman Soebagyo, menegaskan bahwa persoalan kerusakan hutan di Indonesia bukanlah masalah yang muncul dalam satu atau dua tahun terakhir, melainkan akumulasi dari praktik dan kebijakan keliru yang berlangsung sejak lama.

Pernyataan itu ia sampaikan dalam rapat kerja bersama Menteri Kehutanan Raja Juli Antoni yang membahas bencana banjir dan longsor di Aceh, Sumatra Utara, dan Sumatra Barat.

Firman menilai bahwa Raja Juli tidak bisa disalahkan secara sepihak atas kerusakan hutan yang kini banyak disorot publik. Ia mengingatkan bahwa kerusakan ekologis sudah terjadi jauh sebelum pejabat saat ini dilantik.

“Pak Menteri ini lagi cuci piring, makanya saya bela. Waktu diminta tobat nasuha, saya bela juga. Karena kerusakan hutan ini bukan persoalan satu atau dua tahun. Sejak reformasi, hutan kita rusak,” ujarnya di Gedung DPR, Jakarta, Kamis (4/12/2025).

Firman juga menyinggung kebijakan reforma agraria yang menurutnya ikut berdampak pada rusaknya kawasan hutan dan meningkatkan risiko bencana.

“Hentikan reforma agraria, itu juga salah satu penyebab kerusakan hutan kita,” katanya.

Ia menggambarkan betapa rentannya kondisi geologis di berbagai wilayah Indonesia. Firman bahkan mengaku merasakan langsung risiko itu saat melewati daerah rawan longsor.

“Saya miris. Bukan cuma di Sumatra, kami yang duduk di ruangan ini pun kadang-kadang takut kalau lewat Puncak khawatir ada longsor atau jalan tiba-tiba putus seperti yang terjadi di Aceh,” ujarnya.

Artikel Terkait