sekilas.co – Himpunan Industri Mebel dan Kerajinan Indonesia (HIMKI) meminta pemerintah memberikan dukungan yang kuat agar industri mebel dan kerajinan nasional mampu bertahan sekaligus bersaing di tengah kompetisi global yang kian ketat.
“Kami tidak menuntut perlakuan khusus. Yang kami butuhkan hanyalah kesempatan yang setara untuk bersaing di pasar global yang kini semakin tidak seimbang,” ujar Ketua Umum HIMKI, Abdul Sobur, usai Rapat Kerja Nasional HIMKI di Hotel Alila Solo, Kamis, 4 Desember 2025.
Sobur menegaskan bahwa industri mebel dan kerajinan merupakan sektor penting dalam ekonomi kreatif Indonesia karena menyerap lebih dari 2,1 juta tenaga kerja dan menjadi tulang punggung UMKM di banyak daerah. Namun tanpa adanya dukungan kebijakan yang memadai, Indonesia dinilai berpotensi tertinggal dari negara kompetitor.
Ia menjelaskan bahwa salah satu tantangan terbesar adalah penerapan regulasi hijau Uni Eropa, EU Deforestation Regulation (EUDR). Aturan ini disebut sebagai sebuah keharusan, tetapi Sobur menolak apabila beban pemenuhannya dibagi rata tanpa mempertimbangkan kemampuan UMKM.
Menurutnya, UMKM tidak boleh menjadi pihak yang dirugikan dalam proses transisi hijau. Pemerintah harus hadir untuk memfasilitasi, bukan sekadar mengamati.
Karena itu, HIMKI mendorong pemerintah menghadirkan sejumlah dukungan strategis, mulai dari layanan penelusuran (traceability) dan dokumentasi tunggal sekelas standar FSC, bantuan pembiayaan sertifikasi dan pendampingan bagi UMKM, hingga harmonisasi regulasi kehutanan serta legalitas kayu agar tidak memperumit birokrasi.
Sobur menilai bahwa kompetisi global kini semakin tidak seimbang. Tiongkok mengalami kapasitas produksi berlebih yang memicu perang harga, sedangkan Vietnam unggul karena aktif meneken berbagai perjanjian dagang.
Jika tidak bertindak cepat, Sobur memperingatkan bahwa pembeli global bisa meninggalkan Indonesia bukan karena kualitas buruk, tetapi karena kurang kompetitif.
Ia menekankan pentingnya kebijakan yang dapat memperkuat posisi Indonesia, termasuk tarif ekspor preferensial ke pasar utama serta penegakan aturan antidumping untuk menekan impor yang dianggap tidak fair.
Meski begitu, Sobur tetap optimistis karena Indonesia memiliki kekuatan budaya yang besar sebagai modal memasuki pasar global. Ia mengatakan kreativitas dan kerajinan lokal merupakan identitas yang tidak mudah ditiru oleh negara lain.
“Desain dan kerajinan adalah DNA bangsa ini. Kita punya cerita, karakter, dan jiwa yang dihargai dunia,” ungkapnya.
HIMKI juga mendorong langkah strategis seperti pembangunan Center of Design Excellence untuk memperkuat produk ekspor kreatif, memperluas branding Made in Indonesia secara global, serta meningkatkan kolaborasi antara desainer dan pelaku industri di berbagai daerah.
Sobur turut menekankan pentingnya ekosistem logistik sebagai faktor penentu daya saing. Ia menyebut Pelabuhan Patimban dan Bandara Kertajati perlu dioptimalkan sebagai gerbang ekspor yang bisa menekan biaya logistik nasional. “Jawa Barat merupakan pusat produksi. Logistiknya harus menjadi keunggulan, bukan hambatan,” katanya.
HIMKI juga mengajukan usulan berupa penambahan layanan ekspor–impor di Patimban, penguatan konektivitas multimoda, serta insentif bagi eksportir yang memanfaatkan hub logistik nasional tersebut.
Rakernas HIMKI menghasilkan tiga rekomendasi utama bagi pemerintah: pertama, kebijakan pro-industri dan pro-ekspor yang berlapis serta terukur; kedua, peningkatan daya saing melalui teknologi, SDM, dan desain; ketiga, ekspansi pasar global yang diikuti dengan konsolidasi distribusi nasional.
Dengan dukungan itu, HIMKI yakin target ekspor sebesar US$ 6 miliar pada 2030 dan US$ 10 miliar pada 2045 dapat direalisasikan. Sobur menegaskan bahwa HIMKI siap menjadi mitra strategis pemerintah untuk memperkuat industri nasional.
Ia menutup dengan menekankan bahwa industri mebel dan kerajinan bukan hanya terkait ekspor, tetapi juga menyangkut kedaulatan industri, penciptaan lapangan kerja, dan masa depan ekonomi kreatif Indonesia.





